Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Korupsi Ada Sejak Ratusan Tahun Lalu, Bahkan Jadi Pemicu Utama Perang Jawa era Pangeran Diponegoro

Bahkan ia menilai cara Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menghadapi para koruptor tak berbeda dengan era Diponegoro.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Korupsi Ada Sejak Ratusan Tahun Lalu, Bahkan Jadi Pemicu Utama Perang Jawa era Pangeran Diponegoro
net
ilustrasi korupsi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah korupsi ternyata juga menjadi pemicu utama perang Jawa pada era Pangeran Diponegoro.

Meski hal tersebut tidak dibahas dan dicantumkan di buku pelajaran sejarah sekolah Indonesia era ini.

Penulis buku 'Korupsi Dalam Silang Sejarah' Peter Carey mengungkap hal itu dalam diskusi bertajuk 'Membaca Sejarah, Merayakan Antikorupsi' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/12/2017) kemarin.

Carey menuturkan jika isu korupsi dan cara penanganannya tidak banyak mengalami perubahan selama hampir 200 tahun, sejak Diponegoro menampar Patih Yogya Danurejo IV di hadapan sentana (keluarga Sultan) di Keraton Yogya, pada sekitar 1817.

Bahkan ia menilai cara Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menghadapi para koruptor tak berbeda dengan era Diponegoro.

"Cara mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghadapi pejabat korup di Pemerintah Provinsi DKI dan menghardik para pengkritik di DPRD tidak jauh berbeda dengan Diponegoro," ujar Carey.

Baca: Prabowo Subianto: Ulama Berpesan Tidak Boleh Korupsi

Berita Rekomendasi

Menurutnya, arus uang yang melimpah dengan datangnya para penyewa tanah dari Eropa setelah Agustus 1816 di Pulau Jawa, waktu Hindia Timur dikembalikan Inggris kepada Belanda, menjadi penyebab utama adanya korupsi.

Hal itu, kata Carey, membuka jalan bagi para pejabat pribumi korup seperti Danurejo IV di Yogya untuk memperkaya diri.

Carey menjelaskan situasi Pulau Jawa pasca Agustus 1816 mirip dengan keadaan Indonesia setelah 'kejutan harga minyak' Desember 1973, yakni saat terjadi kenaikan harga minyak tiga kali lipat oleh OPEC, yang membuka lebar bagi terciptanya budaya korupsi di Indonesia pada era Orde Baru Soeharto.

"Selama 32 tahun rezim itu, penyelewengan kontrak dan praktik mark-up mencapi tingkat "gila-gilaan," tegas pria berkebangsaan Inggris ini.

Sesudah awal 1970-an, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dinilai Carey menjadi semacam 'penyakit kelembagaan' yang menyangkut segala macam aspek kehidupan sosial di Indonesia.

"Ini adalah sebuah penyakit kronis yang berdampak fatal di bidang ketatanegaraan, hukum, birokrasi, pendidikan dan kemasyarakatan," imbuhnya.

Lebih lanjut, Carey mengatakan kalangan yang memiliki kepentingan mencakup sebuah aliansi yang ganjil antara berbagai unsur-unsur kapitalisme semu.

Kalangan itu, kata Carey, adalah oknum-oknum kapitalis yang hanya bisa muncul dan tumbuh karena fasilitas istimewa, koneksi serta kolusi dengan rezim Soeharto.

Indonesia sendiri, urai Carey, belum mengalami perubahan paradigma yang signifikan dari zaman feodal Jawa hingga zaman reformasi kini.

"Cara melakukan korupsinya pun punya kemiripan, hanya saja namanya berubah. Jika dulu dilakukan oleh Raden Adipati Danurejo IV dengan pradata (penghakiman sipil Yogya) kini dilakukan oleh Akil Mochtar dengan Mahkamah Konstitusi-nya," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas