Ada Selisih Rp 105 Miliar, Kerugian Keuangan Negara Pada Dakwaan Setya Novanto Disebut Tidak Nyata
Dalam perkara sebelumnya, kerugian negara yang yang dinyatakan adalah Rp 2.314.904.234.275.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surat dakwaan korupsi pengadaan KTP elektronik Setya Novanto disebut telah memuat kerugian keuangan negara yang tidak nyata dan tidak pasti.
Kerugian tidak pasti karena ada perbedaan antara jumlah penerimaan di dakwaan perkara sebelumnya milik Irman dan Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Dalam keberatan atau eksepsi yang dibacakan tim penasehat hukum Setya Novanto, terdapat selisih kerugian negara negara pada perkara Novanto sebesar Rp 105.302.000.
Dalam perkara sebelumnya, kerugian negara yang yang dinyatakan adalah Rp 2.314.904.234.275.
Angka tersebut berdasarkan penghitungan BPKP berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara tanggal 11 Mei 2016.
Ketua tim penasehat hukum Novanto, Maqdir Ismail mengatakan kerugian keuangan negara tersebut tidak memperhitungkan penerimaa uang kepada Setya Novanto sejumlah 7,3 juta Dolar Amerika Serikat atau Rp94.900.000.000, 800.000 Dolar Amerika Serikat kepada Charles Sutanto Ekapradja dan kepada Tri Sampurno sebesar Rp 2 juta.
Baca: Polisi Tangkap Pelaku Persekusi yang Menewaskan Seorang Pemerkosa
"Atau seluruhnya sebesar seratus lima miliar tiga ratus dua juta rupiah sebagaimana telah dinyatakan dalam surat dakwaan Setya Novanto," kata Maqdir di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, (20/12/2017).
Menurut Maqdir tidak tercatatnya penerimaan uang oleh Novanto, Charles dan Tri Sampurno menyebabkan terdapat penambahan kerugian negara. Kerugian negara menjadi Rp2.420.206.234.275 dari semula Rp2.314.904.234.275.
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-IV/2016 tanggal 25 Januari 2017, disebutkan bahwa penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsep actual loss menurut Mahkamah telah memberikan kepastian hukum yang adil.
Putusan tersebut juga menyatakan kata 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi bertentangan terhadap UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan kata lain, lanjut Maqdir, putusan itu menegaskan setiap perbuatan pidana korupsi untuk dapat memenuhi unsur-unsur delik harus ada akibat nyata dari perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.
Maqdir juga mendalilkan bahwa berdasarkan Surat Edara Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2016 mengatur bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional.
Sedangkan instnasi lainnya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan adanya kerugian keuangan negara.
"Sehingga jelas kerugian keuangan negara dalam surat dakwaan Setya Novanto ini akibat dari adanya splitsing surat dakwaan Irman dan Sugiharto, serta Andi Agustinus maka terlihat bahwa kerugian negara tidak nyata dan pasti," kata Maqdir.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.