Memahami Motif Politik di Balik Masa Jabatan Airlangga Hartarto di Golkar
Pandangan yang membatasi jabatan Ketum hanya 2 tahun, dari aspek komunikasi politik, pasti mempunyai tujuan politis pula.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar telah mengukuhkan Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum.
Setelah sempat terjadi perdebatan menginginkan hanya 2 tahun dan satu periode, yaitu 5 tahun, Airlangga akhirnya diputuskan menjadi Ketua Umum hanya sampai tahun 2019.
Perbedaan pandangan ini, menurut Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, sebagai bukti masih berpotensi munculnya persoalan di internal Golkar ke depan seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Sebab, pesan komunikasi politik yang dilontarkan masing-masing aktor politik tersebut sarat makna kepentingan politik, sekaligus menunjukkan posisi politik mereka, yaitu berada pada pro status quo atau pro perubahan, Golkar bersih.
Oleh karena itu, pandangan yang berbeda tentang lamanya jabatan Ketua Umum tersebut, dari aspek komunikasi politik, dipastikan mempunyai motif (kepentingan) politik individu atau satu faksi (kelompok) dari aktor politik yang melontarkannya.
Untuk itu, masing-masing motif politik tersebut perlu dibongkar, apakah sejalan dengan tujuan dilakukannya Munaslub, sebagai penyelenggaraan luar biasa.
Baca: Ketua DPR Baru Harus Bersih Korupsi dan Tidak Anti KPK
Yaitu melakukan konsolidasi partai, membangun soliditas internal, memperbaiki persepsi publik yang tidak produktif - utamanya terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah dari kader dan mantan Ketum - serta menurunnya elektabilitas partai Golkar, atau tidak sama sekali.
Jabatan Ketum 2 Tahun
Pandangan yang membatasi jabatan Ketum hanya 2 tahun, dari aspek komunikasi politik, pasti mempunyai tujuan politis pula.
Paling tidak, aktor politik tersebut belum menginginkan Ketua Umum terpilih, Airlangga, lebih lama menahkodai Golkar. Bisa saja mereka memaknai bahwa Airlangga bukan bagian dari kepentingan politik mereka.
Atau kehadiran Airlangga, mereka nilai dapat mengganggu gerak politik mereka selama ini.
Pertanyaan, mengapa? Yang pasti, pesan komunikasi politik yang diproduksi aktor politik, seperti pembatasan jabatan Airlangga hanya 2 tahun, tidak ada di ruang hampa.
Semua pesan komunikasi politik bermaksud atau bertujuan politik, yang dalam konsep politik disebut sebagai kepentingan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.