Geliat Proyek e-KTP Sasar Pejabat Tinggi Negara
Sampai akhir tahun, setidaknya sudah enam orang menjadi pesakitan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Dewi Agustina
Mereka yang kooperatif mengirimkan uang kepada rekening KPK khusus penyidikan.
Akhirnya, KPK melimpahkan berkas kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada 1 Maret 2017.
Sidang perdana terkait kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta digelar pada Kamis 9 Maret 2017.
Di sidang pertama beragenda pembacaan surat dakwaan, hadir dua orang terdakwa, yaitu Irman dan Sugiharto.
Sejumlah nama disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi e-KTP.
Puluhan anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014 disebut menerima fee dari uang yang dianggarkan dalam proyek e-KTP.
Mereka turut terlibat menerima uang, yaitu mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sejumlah 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta, mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini sejumlah 2,7 juta dollar AS dan Rp 22,5 juta, Ketua Panitia Pengadaan e-KTP Drajat Wisnu Setyawan sejumlah 615.000 dollar AS dan Rp 25 juta, enam anggota panitia lelang masing-masing sejumlah 50.000 dollar AS.
Lalu, Husni Fahmi sejumlah 150.000 dollar AS dan Rp 30 juta, Anas Urbaningrum sejumlah 5,5 juta dollar AS, Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) sejumlah 1,4 juta dollar AS, Olly Dondokambey sejumlah 1,2 juta dollar AS, Tamsil Linrung sejumlah 700.000 dollar AS, Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dollar AS, Arif Wibowo sejumlah 108.000 dollar AS, Chaeruman Harahap sejumlah 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar, Ganjar Pranowo sejumlah 520.000 dollar AS.
Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah 1,047 juta dollar AS, Mustokoweni sejumlah 408.000 dollar AS, Ignatius Mulyono sejumlah 258.000 dollar AS, Taufiq Effendi sejumlah 103.000 dollar AS, Teguh Juwarno sejumlah 167.000 dollar AS.
Miryam S Haryani sejumlah 23.000 dollar AS, Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing 37.000 dollar AS, Markus Nari sejumlah Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS.
Yasonna Laoly sejumlah 84.000 dollar AS, Khatibul Umam Wiranu sejumlah 400.000 dollar AS, M Jafar Hafsah sejumlah 100.000 dollar AS, Ade Komarudin sejumlah 100.000 dollar AS.
Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar, Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sejumlah Rp 2 miliar, Marzuki Alie sejumlah Rp 20 miliar, Johannes Marliem sejumlah 14.880.000 dollar AS dan Rp 25.242.546.892, Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS.
Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS, beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing sejumlah Rp 60 juta.
Manajemen bersama konsorsium PNRI sejumlah Rp 137.989.835.260, Perum PNRI sejumlah Rp 107.710.849.102, PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 145.851.156.022, PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp 148.863.947.122, PT LEN Industri sejumlah Rp 20.925.163.862, PT Sucofindo sejumlah Rp 8.231.289.362, PT Quadra Solution sejumlah Rp 127.320.213.798,36.
Namun, anggota DPR RI dari Fraksi Hanura, Miryam S Haryani, menyebut keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di KPK dibuat atas tekanan penyidik.
Lalu, dia mencabut keterangan BAP dalam persidangan perkara korupsi e-KTP.
Sambil terisak-isak di persidangan, Miryam menyebut kerterangan dalam BAP terkait dugaan penerimaan dan bagi-bagi duit e-KTP itu tidak benar.
Keterangan itu dibuat karena Miryam merasa terancam oleh perkataan penyidik KPK.
Belakangan KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka dalam kasus dugaan memberikan keterangan palsu di persidangan.
Proses pengungkapan kasus korupsi e-KTP tidak berhenti sampai Irman dan Sugiharto diseret ke pengadilan.
Pihak KPK terus melakukan pengembangan.
Berdasarkan pengumpulan fakta dan petunjuk, komisi anti rasuah itu menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka pada Rabu (23/3/2017).
Berselang satu hari kemudian, pelaku utama korupsi itu ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Dalam proyek itu, dia berperan meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun.
Dia membagi-bagikan uang kepada sejumlah pimpinan dan anggota Komisi II DPR, serta Badan Anggaran, demi mendapatkan persetujuan nilai anggaran.
Di persidangan, Andi sebagai orang dekat Setya Novanto.
KPK menyebut Andi dan Novanto bersama-sama mengondisikan proyek, sehingga menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
Pengakuan Andi di sidang kasus korupsi e-KTP banyak menyeret nama Novanto dan keterlibatan Ketua DPR RI banyak diungkap.
Andi mengaku memberikan uang total USD 7 juta ke DPR dalam proyek itu.
Selain itu, dia juga sempat memberikan hadiah jam tangan untuk Novanto yang ditaksir seharga Rp 1,3 Miliar.
Akhirnya, KPK menetapkan Novanto sebagai tersangka. Namun, di penetapan status tersangka pertama, dia mampu lepas dari hukum.
Hal ini, karena hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan tim penasehat hukum.
Namun, komisi anti rasuah itu kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka.
Pengumuman penetapan Novanto sebagai tersangka itu disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (10/11/2017).
"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," kata Saut Situmorang.
Setelah melalui serangkaian drama mulai dari hilangnya Novanto hingga mengalami kecelakaan lalu lintas di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, yang bersangkutan akhirnya diseret ke ‘meja hijau’.
Sidang perdana kasus korupsi e-KTP yang menjerat terdakwa, Setya Novanto digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Rabu (13/12/2017).
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu didakwa Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pada dakwaan alternatif, jaksa menyangkakan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
KPK juga menyeret dua orang lainnya dari unsur anggota DPR RI dan salah satu perusahaan yang tergabung dalam proyek pengadaan e-KTP.
Anggota DPR RI periode 2009-2014, Markus Nari menjadi tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, karena diduga memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran e-KTP.
Dia diduga memperkaya sejumlah korporasi yang terkait dalam pelaksanaan proyek.
Sebagai realisasi permintaan, dia meminta uang sebanyak Rp 5 Miliar kepada Irman. Namun, dia diduga baru menerima sekitar Rp 4 miliar.
Terakhir, KPK menetapkan Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjo, sebagai tersangka.
Anang diduga terlibat dalam kasus itu bersama tersangka lainnya merugikan kerugian negara Rp 2,3 Triliun dari nilai paket pengadaan sebesar Rp 5,9 triliun.
Perusahaan Anang tergabung dalam konsorsium yang memenangkan proyek e-KTP tersebut.