Manuver Rhoma Kandas di MK, Partai Baru Tak Bisa Ajukan Capres
Kandas sudah keinginan untuk mengubah ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilihan umum 2019.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kandas sudah keinginan untuk mengubah ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di pemilihan umum 2019 yang menggunakan angka 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah dalam pemilu sebelumnya.
Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (11/1/2018) menolak permohonan uji materiil (judial review) Undang-undang No 7 Thn 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Ketua Umum Partai Idaman H Rhoma Irama, dan kelompok masyarakat.
Permohonan ACTA tidak diterima karena syarat formal permohonan uji materiil tersebut tidak terpenuhi dan pemohon mengabaikan petunjuk majelis hakim MK untuk melengkapi permohonan.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim, Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Kamis.
Majelis menyebut pemohon tidak mencantumkan nomor undang-udang dan tidak menyertakan lembaran negara yang memuat undang-undang bersangkutan.
"Pemohon tidak melakukan perbaikan. Alih-alih melakukan perbaikan sebagaimana dinasihatkan oleh panel hakim, pemohon justru menjelaskan pendapat pemohon perihal sahnya pemeriksaan pengujian undang-undang meskipun belum memiliki nomor," kata Hakim Anwar Usman.
Pemohon, kata Anwar, telah melakukan perbaikan seperti dinasihatkan panel hakim namun kembali tidak mencantumkan nomor udang-undang.
Baca: Kapolda Baru Jambi Sujud Syukur Ketika Tahu Ditugaskan di Tanah Kelahirannya
Pemohon juga tidak menyerahkan lembar negara yang dimaksud.
Oleh karena itu permohonan tidak memenuhi persyaratan atau prematur.
"Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon dan pokok permohonan," ucap Anwar.
Sedangkan untuk pemohon lainnya, termasuk yang diajukan H Rhoma Irama, majelis hakim menyatakan permohonan terhadap pengguguran presidential threshold di pasal 222 UU No 7 Thn 2017 tidak beralasan.
"Permohonan pemohon pasal 222 tidak beralasan menurut hukum," ujar Ketua MK Arief Hidayat.
Namun putusan itu tidak bulat karena dua hakim MK, Saldi Isra dan Suhartoyo, menyatakan dissenting opinion (tidak sependapat dengan pendapat anggota majelis hakim lainnya.