Pengamat Anggap Tidak Masalah KPK Pakai Rekaman FBI Dalam Persidangan Setya Novanto
"Seharusnya hal seperti ini tidak dipermasalahkan dalam proses persidangan dan justru harus dioptimalkan,"
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rekaman wawancara antara Biro Investigasi Federal AS (FBI) dengan Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem dalam persidangan kasus korupsi E-KTP tidak perlu dipersoalkan.
Diketahui rekaman tersebut diputar KPK dalam persidangan kasus korupsi E KTP dengan terdakwa Setya Novanto beberapa waktu lalu.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan dalam perkara korupsi dan kejahatan lain yang bisa bersifat transnasional sudah biasa digunakan mekanisme mutual legal assistan on criminal matter (MLA).
Baca: Eva Sundari Bantah Kecipratan Duit Suap Proyek di Bakamla
Baca: Stafsus Kepala Bakamla Ali Fahmi Disebut Sebagai Otak Suap Proyek Pengadaan Satelit Monitoring
"Seharusnya hal seperti ini tidak dipermasalahkan dalam proses persidangan dan justru harus dioptimalkan," ujar Yenti kepada Tribunnews.com, Rabu (24/1/2018).
Berkaitan dengan keaslian rekaman, menurutnya, tidak perlu dikhawatirkan. mengingat sidang bersifat terbuka untuk umum.
Selain itu, informasi saat ini begitu mudah diakses, sehingga tidak mungkin KPK berani memanipulasi hasil rekaman.
"Karena akan sangat mudah dibantah pihak FBI," tegasnya.
Baca: Ancam Beri Nilai Jelek, Guru SMP di Jakarta Timur Mencabuli 16 Muridnya
Baca: Periksa Sejumlah Kontraktor, KPK Telusuri Upeti Untuk Bupati Kukar
Sebagai suatu alat bukti dari Jaksa biasa kalau terdakwa minta agar diklarifikasi dengan minta kehadiran FBI.
Harapannya tentu pada hakim untuk jeli melihat diperlukan atau tidak kehadiran FBI.
Namun, bila mengingat bukti lain dan biaya serta mengacu pada asas cepat, murah dan sederhana harusnya tidak perlu dihadirkan dengan pertimbangan sidang terbuka dan manipulasi rekamsn FBI sangat berisiko dan mempertaruhkan kredibilitas KPK.
Baca: Bambang Soesatyo Ungkap Alasan Enggan Pakai Mobil Dinas Ketua DPR Berpelat RI 6
Baca: Takut Kualat, Bambang Soesatyo Tak Akan Gunakan Mobil Dinas Ketua DPR Berpelat RI 6
Hal yang harus dilakukan KPK adalah segera menuntaskan kasus tersebut setuntas tuntasnya.
Dia tegaskan, siapapun yang terlibat harus diproses dan mulai lah mengoptimalkan TPPU untuk melacak mengalir kemana saja dana Rp 2,3 triliun.
"Bagi yang mengalirkan, terapkan TPPU aktif. Bagi yang menerima TPPU pasif. Dengan TPPU diharapkan perampasan hasil korupsi e-KTP bisa lebih berhasil daripada hanya menggunakan UU Tipikor saja," jelasnya.
KPK menggunakan rekaman wawancara antara Biro Investigasi Federal AS (FBI) dengan Direktur Biomorf Lone LLC, Johannes Marliem, pada persidangan kasus E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto beberapa waktu yang lalu.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyebut penggunaan rekaman tersebut memiliki dasar hukum yang terdapat pada Undang-Undang KPK.
"Kerjasama internasional itu diatur kerjasama antara KPK dengan institusi penegak hukum lain di negara lain itu diatur dalam pasal 12 ayat 1 huruf h atau i Undang-Undang KPK," ujar Febri saat dikonfirmasi, Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Pasal 12 ayat 1 (h) menyebutkan KPK berwenang meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Sementara huruf (i) memuat aturan yang memberi kewenangan KPK untuk meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
KPK juga mendasari pada hasil dua konvensi UN Convention against Transnational Organized Crime dan UN Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Konvensi tersebut mengatur tentang pertukaran informasi antar dua negara dalam bidang penegakan hukum.
Febri mengatakan KPK tidak perlu lagi untuk menghadirkan FBI untuk memastikan keaslian percakapan tersebut.
"Tidak dibutuhkan, kan sudah ada komunikasi antar-institusi negara. Nanti hakim yang menilai," jelas Febri.
Dirinya mengungkapkan bahwa ini bukan pertama kalinya KPK menjalin kerjasama dengan pihak FBI dalam pengungkapan kasus korupsi.
"Beberapa kali menangani kasus lintas negara seperti ini dengan FBI kita pernah bekerja sama dalam kasus Allstorm dulu," ungkap Febri.
Seperti diketahui, dalam rekaman percakapan antara Johannes Marliem dengan pihak FBI yang berlangsung di Los Angeles pada Agustus 2017 itu diputar dalam persidangan untuk terdakwa mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Keterangan Marliem kemudian dikonfirmasi dengan keterangan saksi Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Dalam rekaman yang diputar terdengar dua hal yang diungkapkan Marliem kepada penyelidik FBI.
Pertama, terkait tawar-menawar harga software yang melibatkan Setya Novanto.
Menurut rekaman, Marliem bercerita bahwa pada saat sarapan pagi di rumah Novanto, mantan Ketua Fraksi Partai Golkar itu meminta potongan harga software kepadanya.
Marliem kemudian berupaya meyakinkan Novanto mengenai harga dan kualitas produk.
Marliem merupakan perwakilan Biomorf Mauritius, sebuah perusahaan yang menyediakan produk biometrik merek L-1. Pada akhirnya, produk L-1 tersebut digunakan untuk proyek e-KTP.
Selain itu, Marliem mengaku bersama-sama dengan Andi Narogong memberikan jam tangan merek Richard Mille kepada Novanto. Jam tangan itu senilai 135.000 dollar Amerika Serikat.
Menurut Marliem, jam tangan tersebut pernah rusak dan dikembalikan oleh Novanto. Oleh Marliem, jam tangan itu dibawa ke butik di Beverly Hills, AS.