Pakar Hukum Tata Negara: Pasal Penghinaan Presiden Tidak Bisa Masuk Kembali di RKUHP
Secara hukum tidak bisa, jadi putusan MK itu sifatnya memang sudah final dan mengikat.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kembali dimunculkannya Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Pasal 263 dan Pasal 264 draf RKUHP, padahal telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menuai polemik.
Menurut Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, secara hukum Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tidak bisa lagi dimasukkan karena sudah ada keputusan MK yang sifatnya sudah final.
"Secara hukum tidak bisa, jadi putusan MK itu sifatnya memang sudah final dan mengikat. Jadi tidak bisa dibanding lagi, secara politik juga harusnya tidak diakomodasi lagi dalam suatu Undang-Undang," ujar Bivitri saat acara diskusi bertema RKUHP Ancam Demokrasi? , Sabtu (3/2/2018) di Menteng, Jakarta Pusat.
Baca: KPK Nilai Selama Ini Sudah Mendapatkan Banyak Pengawasan
Bivitri melanjutkan jika DPR tetap bersikuku memasukkan kembali pasal tersebut, menurutnya itu merupakan suatu bentuk penyelundupan hukum yang berimbas pada menggerogoti negara hukum Indonesia.
"Ini seharusnya tidak bisa dimasukkan lagi, secara hukum sudah tidak bisa. Nanti akan menggerogoti negara hukum. Kemudian jadinya putusan MK seperti dipinggirkan, tidak punya nilai. Bahkan bisa saja MK akan semakin terlegitimasi dan bahaya buat negara hukum kita kedepan," katanya.