Ketua Umum PPHI: UU MD3 Perlemah Marwah UUD 1945
“Idealnya, DPR menyuarakan aspirasi rakyat dan memperkuat pengawasan terhadap pemerintah. Eh, ini malah terbalik," ujar Murphi Nusmir.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ironis! Itulah satu kata yang dilontarkan Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Tengku Murphi Nusmir terkait revisi Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
“Idealnya, DPR menyuarakan aspirasi rakyat dan memperkuat pengawasan terhadap pemerintah. Eh, ini malah terbalik. DPR justru berhadapan dengan rakyat. Padahal tanpa rakyat selaku konstituen, tak mungkin mereka duduk di Senayan. Akibatnya, marwah Undang-Undang Dasar 1945, khususnya kedaulatan ada di tangan rakyat, pun melemah,” ujar Murphi Nusmir di Jakata, Kamis (15/2/2018).
Ia lalu meruuk contoh Pasal 122 huruf k revisi UU MD3 yang disahkan DPR, Senin (12/2/2018), yang berbunyi, “Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”
Menurut Murphi, pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
“Apakah para pengkritik DPR bisa dijerat dengan pasal ini? Bisa saja, termasuk wartawan yang menulis kritis soal DPR, karena tidak ada batasan seperti apa yang dimaksud dengan merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR itu. Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet, yang bisa ditafsirkan sesuai interpretasi masing-masing anggota DPR,” jelas anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ini.
Pun, kata Murphi, Pasal 245 UU MD3 yang menyatakan pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan terlebih dahulu oleh MKD sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin tertulis bagi aparat penegak hukum.
Baca: Pasal-pasal dalam UU MD3 Dinilai Mencederai Demokrasi
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD tersebut, sehingga izin diberikan oleh Presiden. Kini, DPR mengganti frasa “izin” MKD dengan frase "pertimbangan".
“DPR seakan alargi terhadap law enforcment (penegakan hukum) yang sebenarnya menjadi kehendak seluruh rakyat,” jelas pria low profile kelahiran Palembang, 1 Desember 1960 ini.
Pasal-pasal tersebut, lanjut Murphi, adalah upaya proteksi luar biasa DPR bagi lembaga dan dirinya sendiri dari kritik pihak lain di satu sisi, dan di sisi lain melindungi oknum-oknum angotanya bila berbuat pidana, seperti korupsi. “Kalau DPR alergi terhadap kritik, lalu bagaimana bisa setiap hari mereka mengkritik pemerintah?
Kalau sudah tidak demokratis, bahkan antidemokrasi, masih pantaskah DPR disebut sebagai lembaga demokrasi, bahkan salah satu pilar demokrasi di samping eksekutif dan yudikatif?” tanya mantan aktivis GMNI dan Kosgoro ini.
Tukar Guling
Murphi menengarai, sikap pemerintah yang menyetujui Pasal 122 dan Pasal 245 UU MD3 akan ditukar guling atau barter dengan Pasal 263 ayat (1) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang kini tengah dibahas pemerintah dan DPR.
Pasal ini menyatakan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. “Saya menduga pasal yang berpotensi menjadi pasal karet ini akan disetujui DPR sebagai barter,” cetusnya.
Bila tidak ingin disebut hendak barter, lanjut Murphi, maka DPR di satu pihak harus menolak Pasal 263 ayat (1) RUU KUHP, dan di pihak lain, Presiden Joko Widodo jangan menandatangani UU MD3 yang baru disahkan DPR, bahkan lebih jauh lagi Presiden Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perppu) untuk kembali ke UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 sebelum direvisi.
Lebih jauh, Murphi menengarai ada “konspirasi” antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, dalam hal ini yudikatif yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang Kamis (8/2/2018) lalu menolak permohonan judicial review (uji materi) Pasal 79 ayat (3) UU MD3 yang menjadi dasar DPR membentuk Panita Khusus Hak Angket KPK. Dengan putusan itu, MK menyatakan KPK bagian dari eksekutif. “Ini juga bentuk pelemahan warwah UUD 1945,” tukasnya.
Murphi mengimbau, bila tidak mau ada people power (gerakan rakyat) untuk membubarkan DPR, bahkan menurunkan Presiden Jokowi atau setidak-tidaknya rakyat tidak akan memilih kembali Jokowi pada Pilpres 2019, baik DPR maupun Presiden harus mengembalikan marwah UUD 1945, antara lain dengan menganulir UU MD3 yang baru disahkan DPR, dan menolak Pasal 263 ayat (1) RUU KUHP yang kini sedang bergulir di DPR.