Uang Suap Rp 2,8 Miliar Itu Rencananya Digunakan untuk 'Serangan Fajar'
Rencananya uang dalam pecahan Rp 50 ribu tersebut akan dijadikan modal kampanye Asrun, dan dibagikan ke masyarakat.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan bahwa uang miliaran rupiah yang sebelumnya dibawa kabur sejumlah pihak terkait kasus suap Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra, akan digunakan untuk keperluan Pilkada Gubernur Sulawesi Tenggara.
Rencananya uang dalam pecahan Rp 50 ribu tersebut akan dijadikan modal kampanye Asrun, dan dibagikan ke masyarakat.
"Ada kata-kata untuk biaya politik (Asrun). Tetapi kami harus memastikan lagi. Penukaran uang bentuk 50 ribu, prediksi penyidik akan dibagi-bagikan ke masyarakat," ungkap Basaria dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (9/3/2018).
Baca: Dosen FEB UGM Memprediksi Situasi Ketenagakerjaan pada 10-20 Tahun ke Depan Seperti Ini
KPK sejauh ini masih mencari keterkaitan antara pihak lain yang belum ditetapkan sebagai tersangka. Namun KPK saat ini masih mengendus indikasi bahwa uang tersebut masih digunakan untuk biaya kampanye Asrun.
"Tapi yang kita tahu itu untuk ayahnya," tambah Basaria.
Seperti diketahui, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Empat orang tersebut diantaranya Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Asrun, Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara (SBN), Hasmun Hamzah dan Mantan Kepala BPKAD Kota Kendari, Fatmawati Faqih.
KPK menemukan dugaan bahwa menerima Adriatma uang sebesar Rp 2,8 miliar dari Hasmun Hamzah.
Uang tersebut diberikan agar Adriatma memenangkan lelang proyek Jalan Bungkutoko, Kendari dengan nilai proyek Rp60 miliar kepada perusahaan milik Hasmun Hamzah.
Atas perbuatannya sebagai pemberi Hasmun Hamzah dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dan pihak penerima, Adriatma, Asrun dan Fatmawati dijerat dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.