Pegiat Antikorupsi: Masih Ada 2 Pilihan Bagi Presiden Jokowi Untuk Gugurkan UU MD3
Presiden Jokowi dapat menginisiasi perubahan terbatas pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada dua pilihan yang bisa diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggugurkan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang resmi diberi nomor dan tercatat dalam lembaran negara, Kamis (15/3/2018).
Pertama, imbuh dia, Presiden Jokowi dapat menginisiasi perubahan terbatas pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3.
Kedua, Presiden Joko Widodo dapat menerbitkan Perppu sebagai respon atas mundurnya demokrasi.
Baca: Takmir Masjid Perlu Berperan Aktif Saring Informasi di Masjid
"Strategi menerbitkan Perppu ini juga pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat masyarakat menolak pilkada tidak langsung melalui DPRD," ujar pegiat antikorupsi dari YAPPIKA-ActionAid, Hendrik Rosdinar kepada Tribunnews.com, Kamis (15/3/2018).
Seharusnya, lanjut dia, Presiden Jokowi tidak boleh kalah dari SBY dalam menentukan sikap.
Baca: Lebih 205 Ribu Orang Dukung Petisi Tolak UU MD3
Usep Hasan Sadikin dari Perludem menambahkan masyarakat sipil dulu pernah membuat petisi change.org/dukungpilkadalangsung yang ditandatangani 118 ribu orang.
Jika dibandingkan, dukungan publik untuk tolak UU MD3 ini hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan saat pilkada langsung dulu.
Lebih dari 205 ribu orang mendukung petisi tolak UU MD3 dalam change.org/tolakuumd3.
Petisi nasional ini merupakan terbesar dan tercepat didukung masyarakat.
Baca: Alasan Golkar Belum Umumkan Calon Wakil Presiden Untuk Pendamping Jokowi
Gerakan ini dinisiasi Koalisi mayarakat sipil tolak UU MD3 yang terdiri dari lembaga seperti Yappika-Action Aid, Kode Inisiatif, Kopel Indonesia, PSHK, Perludem, ICW, dan Indonesia Budget Center.
"Artinya, ini menjadi perhatian besar bagi masyarakat. Apakah Presiden Jokowi mau berpihak pada kepentingan publik?" demikian ia mempertanyakan sikap Presiden Jokowi.
Hal senada juga menurut Syamsuddin Alimsyah dari Kopel, kehadiran UU MD3 ini semakin memperkuat lembaga DPR saat kualitas dan kinerja DPR semakin menurun.
"UU ini juga makin memperlemah keterlibatan masyarakat sebagai konstituen untuk mengontrol wakilnya di DPR,” jelasnya.
Roy Salam dari IBC menguatkan, bahwa kehadiran pasal-pasal kontroversi dalam UU MD3 dapat mengkriminalisasi masyarakat yang menyuarakan pendapatnya terhadap DPR.
"Ini sebagai bentuk kemunduran dalam proses berdemokrasi di negara kita,” ucapnya.
Melengkapi, Ronald Rofiandri dari PSHK menekankan UU MD3 hasil perubahan ini semakin memperbesar jarak antara DPR dan konstituennya.
Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan karena akan semakin mengurangi kepercayaan publik kepada DPR.
"Oleh sebab itu, Presiden harus mengambil langkah cepat untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap jalannya pemerintahan,” tegasnya.