Probosutedjo Pernah Bilang Banyak Orang Tak Percaya Statusnya sebagai 'Adik' Pak Harto
Probosutedjo dilahirkan di Desa Kemusuk, Yogyakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Mei 1930.
Editor: Fajar Anjungroso
Itulah awal pengenalan saya pada sosok Soeharto,atau yang saya panggil Mas Harto. Tidak saya duga sama sekali, saudara kandung yang “terlambat” hadir dalam hidup saya ini kelak justru menjadi saudara dekat. Teramat dekat.
Kenyataan Mas Harto adalah saudara satu perut, Pada masa kecil hanya saya artikan sebagai kenyataan yang membuat saya riang.
Pasalnya, dia memang seorang pemuda yang baik dan mengayomi anak-anak kecil. Saya tak pernah mengira bahwa berpuluh-puluh tahun kemudian, pemberitahuan Mbakyu Basirah itu menjadi agenda serius yang harus saya uraikan dengan begitu detail. Yakni, ketika orang-orang meragukan saya sebagai adik Mas Harto.
Rumor yang menyebutkan saya saudara tiri Mas Harto menjadi satu dari sekian banyak kontroversi yang berkobar-kobar selama masa pemerintahan kakak saya di Bumi Pertiwi ini.
Banyak orang menyangsingkan status saya sebagai adik Mas Harto. Berbagai suara menyebutkan saya hanya sudara jauh.
Atau, bahkan ada yang mengatakan saya tak lebih dari saudara tiri yang tak ada hubungan sedarah sama sekali. Malah ada juga yang menduga, jangan-jangan saya malah bukan siapa-siapanya Mas Harto.
Menghadapi pernyataan-pernyataan itu, saya selalu hanya tersenyum. Mas Harto, atau Soeharto, Presiden RI ke-2, adalah saudara kandung.
Anak yang terlahir dari rahim Ibu yang juga mengandung saya. Seseorang yang bukan saja menjadi dekat fisik, tapi juga batin. Kami adalah dua orang dengan perbedaan karakter yang sangat jelas.
Mas Harto adalah batu karang yang kukuh dan diam. Saya adalah gelombang yang menghempas-hempas. Namun, dasar nurani kami memiliki warna yang nyaris sama.
Sebelum saya berkisah tentang bagaimana rapatnya hubungan saya dengan Mas Harto, saya merasa perlu mengurai silsilah saya.
Siapa leluhur saya, dan bagaimana kultur yang mengembangkan saya, saudara-saudara saya, termasuk Mas Harto.
Sebuah wadah awal kehidupan berhasil “menggodok” kami menjadi pribadi-pribadi dengan keyakinan pada karakter diri, dan selalu teguh mengarahkan langkah dalam kondisi sesulit apa pun.
Orangtua dan budaya masa kecil kami mengajarkan bagaimana pikiran, hati, kedua kaki, dan sepasang tangan kami harus begerak mengiringi melodi kehidupan.
Susah, senang, di atas, di bawah, kami harus menjadi orang-orang yang menghargai kehidupan. Kami adalah anak-anak dusun. Wong ndeso. Tapi tidak ndesani.