Probosutedjo Pernah Bilang Banyak Orang Tak Percaya Statusnya sebagai 'Adik' Pak Harto
Probosutedjo dilahirkan di Desa Kemusuk, Yogyakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Mei 1930.
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Probosutedjo dilahirkan di Desa Kemusuk, Yogyakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Mei 1930.
Beliau adalah anak kelima dari delapan kakak beradik. Bapaknya bernama Atmoprawiro dan ibunya bernama Soekirah. Berikut penuturan Probostedjo soal Soeharto seperti dilansir hmsoeharto.com.
"Kita sebenarnya punya kakak satu lagi. Ya Mas Harto itu. Ibu bilang begitu. Itu kalimat kakak saya yang nomor tiga, Mbakyu Basirah, yang masih saya ingat betul hingga kini.
Kalimat itu terucap pada tahun 1936,saat usia saya 6 tahun. Ucapan mbakyu saya memancing kening berkerut.
Setahu saya itu, kakak saya hanya tiga orang. Sukiyem yang sudah almarhum, Sucipto,dan Basirah sendiri. Mana ada seorang kakak lagi? Saya tidak pernah melihatnya ada di rumah."
“Mas Harto?” saya mengulang pertanyaan dengan lugu. Pikiran kanak-kanak saya segera menjelajah. Berusaha mengetahui siapa pemilik nama itu.
Baca: Kehebatan Wiljan Pluim Pukau Pelatih Asal Italia
“Yang kadang mampir ke rumah kita itu lho. Yang dari Wuryantoro,” kata Mbakyu Basirah lagi, mencoba mengingatkan saya.
Saya masih tidak bisa membayangkan wajah siapa pun. Waktu kemudian bergulir. Dan akhirnya sosok itu datang lagi ke rumah kami di Kemusuk.
Perlahan-lahan saya bisa mengingat bahwa dia memang pernah ke rumah kami, tapi jarang sekali.
Seorang remaja yang sangat baik dan cakap, berwajah bulat ramah, dengan mata agak sipit, dan hidung yang bangir.
Jika tertawa, matanya bertambah kecil. Namun,selama itu saya tak pernah tahu dia kakak kandung saya.
“Jadi dia kakak kita?” Saya mencari keyakinan pada Mbakyu Basirah. “ Ya, mas Harto,” Basirah mengangguk.
“Dilahirkan Ibu, sebelum Ibu menikah dengan Bapak.” Saya mengangguk-angguk.
Itulah awal pengenalan saya pada sosok Soeharto,atau yang saya panggil Mas Harto. Tidak saya duga sama sekali, saudara kandung yang “terlambat” hadir dalam hidup saya ini kelak justru menjadi saudara dekat. Teramat dekat.
Kenyataan Mas Harto adalah saudara satu perut, Pada masa kecil hanya saya artikan sebagai kenyataan yang membuat saya riang.
Pasalnya, dia memang seorang pemuda yang baik dan mengayomi anak-anak kecil. Saya tak pernah mengira bahwa berpuluh-puluh tahun kemudian, pemberitahuan Mbakyu Basirah itu menjadi agenda serius yang harus saya uraikan dengan begitu detail. Yakni, ketika orang-orang meragukan saya sebagai adik Mas Harto.
Rumor yang menyebutkan saya saudara tiri Mas Harto menjadi satu dari sekian banyak kontroversi yang berkobar-kobar selama masa pemerintahan kakak saya di Bumi Pertiwi ini.
Banyak orang menyangsingkan status saya sebagai adik Mas Harto. Berbagai suara menyebutkan saya hanya sudara jauh.
Atau, bahkan ada yang mengatakan saya tak lebih dari saudara tiri yang tak ada hubungan sedarah sama sekali. Malah ada juga yang menduga, jangan-jangan saya malah bukan siapa-siapanya Mas Harto.
Menghadapi pernyataan-pernyataan itu, saya selalu hanya tersenyum. Mas Harto, atau Soeharto, Presiden RI ke-2, adalah saudara kandung.
Anak yang terlahir dari rahim Ibu yang juga mengandung saya. Seseorang yang bukan saja menjadi dekat fisik, tapi juga batin. Kami adalah dua orang dengan perbedaan karakter yang sangat jelas.
Mas Harto adalah batu karang yang kukuh dan diam. Saya adalah gelombang yang menghempas-hempas. Namun, dasar nurani kami memiliki warna yang nyaris sama.
Sebelum saya berkisah tentang bagaimana rapatnya hubungan saya dengan Mas Harto, saya merasa perlu mengurai silsilah saya.
Siapa leluhur saya, dan bagaimana kultur yang mengembangkan saya, saudara-saudara saya, termasuk Mas Harto.
Sebuah wadah awal kehidupan berhasil “menggodok” kami menjadi pribadi-pribadi dengan keyakinan pada karakter diri, dan selalu teguh mengarahkan langkah dalam kondisi sesulit apa pun.
Orangtua dan budaya masa kecil kami mengajarkan bagaimana pikiran, hati, kedua kaki, dan sepasang tangan kami harus begerak mengiringi melodi kehidupan.
Susah, senang, di atas, di bawah, kami harus menjadi orang-orang yang menghargai kehidupan. Kami adalah anak-anak dusun. Wong ndeso. Tapi tidak ndesani.