Menteri Yohana: Kartini Dulu, Kini, dan Nanti
Dari cerita RA Kartini itu kawin menjadi standar seorang perempuan di hargai di masa lampau.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hari ini tanggal 21 April, hari di mana para perempuan Indonesia patut berbangga karena diperingati sebagai Hari Kartini.
Kartini dulu, dimaknai sepenggal cerita saat Raden Ajeng (RA) Kartini menulis surat yang menggambarkan bagaimana dahulu kaum perempuan menjadi hina jika berstatus tidak kawin.
"Orang mencoba membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali itu dikatakan kepada kami. Aduhai! Dengan menghina sekali orang sering kali membicarakan perempuan yang membujang!" sepenggal tulisan dalam surat RA Kartini yang diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno.
Dari cerita RA Kartini itu kawin menjadi standar seorang perempuan di hargai di masa lampau.
Baca: Beli Produk Gratis Produk di Promo Spesial Hari Kartini dari Pertamina
Namun, banyak kaum perempuan yang kawin bukan karena kehendak sendiri tetapi justru karena tuntutan budaya.
Kartini berkisah "Kami anak-anak perempuan tidak boleh mempunyai pendapat, kami harus menerima dan menyetujui serta mengamini semua yang dianggap baik oleh orang lain. Bahwa tahu, mengerti, dan menginginkan itu dosa bagi anak perempuan". Lalu apakah nasib yang di alami kartini dan perempuan di masa lampau masih di alami kaum perempuan di masa kini?.
Council of Foreign Relations mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh Negara atau tepatnya di urutan ketujuh dengan angka absolut pengantin anak tertinggi di dunia; dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 melakukan riset mengenai jenjang pendidikan yang ditempuh oleh perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah atau di atas 18 tahun.
Hasilnya cukup memprihatinkan, sebesar 94,72% perempuan usia 20 – 24 tahun berstatus pernah kawin yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun putus sekolah, sementara yang masih bersekolah hanya sebesar 4,38%.
Hal ini menjadi miris, karena kaum perempuan masih dibayangi momok untuk melakukan perkawinan di usia muda, tidak hanya di zaman Kartini tapi juga di zaman now.
"Perkawinan bukanlah hal yang buruk jika dilakukan di usia yang tepat dengan persiapan yang matang. Perkawinan di usia anak justru akan membawa permasalahan baru bagi kaum perempuan," ungkap Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, di Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
"Dimulai dari hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, resiko ancaman dari penyakit reproduksi seperti kanker serviks, kanker payudara dan juga hidup dalam keretakan keluarga karena ketidaksiapan mental mereka dalam membangun keluarga, sehingga menimbulkan perceraian," ungkap Yambise.
"Saya berharap kaum perempuan muda Indonesia mampu menentukan masa depannya dengan mengutamakan pendidikan. Kalian lah para penerus estafet mimpi-mimpi R.A Kartini untuk memajukan bangsa," kata dia.
"Kaum perempuan mampu berkarya tidak hanya melulu dengan urusan sumur dapur kasur, tetapi juga di ranah publik. Saya optimis kaum perempuan yang menjadi Kartini masa kini mampu meneruskan mimpi Kartini dimasa yang akan datang", tambah Menteri Yohana.
Tepat dihari peringatan Hari Kartini ini, Menteri Yohana berharap kedepannya tidak ada perkawinan yang terjadi pada anak perempuan yang belum siap menjalani perkawinan.
"Mari kita stop perkawinan anak, kaum perempuan mampu berdiri di kaki sendiri dan menentukan masa depannya sendiri. Jangan pernah berhenti berkarya kaum perempuan Indonesia.", ungkap Menteri Yohana.
R.A Kartini pun turut berpesan, "Tetapi kalau angkatan muda bersatu, dapatlah kiranya kami dengan kekuatan yang bersatu mewujudkan sesuatu yang baik. Dan terhadap pendidikan itu janganlah hanya akal yang dipertajam, tetapi budipun harus dipertinggi".