Koalisi Antimafia Hutan Temukan Kejanggalan Vonis Pengadilan Meulaboh Terhadap PT KA
"Di KLHK sama juga, cukup lambat memproses ini. Prosesnya terlalu soft saat meminta PN mengeksekusi putusan MA,"
Penulis: Yanuar Nurcholis Majid
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Antimafia Hutan menemukan hal yang janggal terkait putusan Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh yang menganulir denda PT Kalista Alam sebesar Rp 366 miliar.
Seorang aktivis dari Auriga yang tergabung dalam Koalisi Antimafia Hutan, Syahrul, mengatakan putusan PN Meulaboh yang menganulir putusan Mahkamah Agung (MA) sepatutnya tidak terjadi.
"Kami menilai ada beberapa kejanggalan di putusan PN itu, kami memandang kejanggalan itu bukan sesuatu yang lumrah atau biasa dalam sistem peradilan. Ada hal yang bukan kewenangan PN tapi itu dilakukan di PN," ujar Syahrul, saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (6/5/2018).
Selain itu, Syahrul menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak cepat merespon kasus tersebut.
Baca: Gali Sumur Dalam Waktu Semalam, Pria di Tangerang Mengaku Hanya Pakai Obeng, Dibantu Sosok Tak Lazim
"Di KLHK sama juga, cukup lambat memproses ini. Prosesnya terlalu soft saat meminta PN mengeksekusi putusan MA, dengan menyurati ke PN, tidak langsung ke MA untuk meminta eksekusi," ujar Syahrul.
Selain itu, Koalisi Mafia Hutan menduga PT Kalista sengaja melalukan 'permainan' dengan cara mengajukan peninjauan kembali (PK) atas vonis MA agar eksekusi denda sebesar Rp 366 Miliar tertunda.
Baca: ICW Dorong Peran KY, MA, dan KPK Terkait Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh
"Sebetulnya masalah sudah ada dari adanya upaya sengaja menunda eksekusi setelah ada keputusan kasasi, seharusnya putusan MA itu inkrah atau berkuatan hukum tetap," ujar Era Purnamasari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI.
Sementara kasus tersebut bermula ketika Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, membuat keputusan yang mengejutkan dengan memenangkan gugatan perusahaan kelapa sawit PT Kalista Alam (PTKA) terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca: Soal Dugaan Persekusi di Area Car Free Day, Muhaimin: Berpolitik Lah yang Happy, Tidak Ada Sentimen
Dimenangkannya PTKA dengan putusan Perkara No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, tertanggal 13 April 2018 itu, dinilai menentang putusan Mahkamah Agung No. 1 PK/Pdt/2015 terhadap PTKA, yang salah satu kewajiban setelah putusan tersebut adalah melaksanakan eksekusi.
Tahun 2014, PTKA dinyatakan bersalah karena melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.
Rawa Tripa, hutan gambut seluas 61.803 hektar yang terletak di Kabupaten Nagan Raya, Aceh itu merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang memasukkannya sebagai kawasan strategis berfungsi lindung.