Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ahli Hukum Tata Negara: SP3 Kasus Rizieq Sesungguhnya Langkah Konstitusional Yang Tepat

Diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan dasar tidak cukup bukti oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Ahli Hukum Tata Negara: SP3 Kasus Rizieq Sesungguhnya Langkah Konstitusional Yang Tepat
KOMPAS IMAGES
Pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus penodaaan Pancasila atas nama Habib Rizieq Shibab (HRS) dengan dasar tidak cukup bukti oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat, sesungguhnya adalah langkah konstitusional yang tepat.

Hal itu disampaikan Ahli Hukum Tata Negara, A. Irmanputra Sidin kepada Tribunnews.com, Senin (7/5/2018).

"Diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan dasar tidak cukup bukti oleh Kepolisian Daerah Jawa Barat, untuk kasus dugaan penghinaan Pancasila yang diduga dilakukan oleh Habib Rizieq Shibab (HRS) sesungguhnya adalah langkah konstitusional yang tepat," ujar Irmanputra Sidin.

Dalam perspektif konstitusional, Founder Law Firm Sidin Constitution A.Irmanputra Sidin & Associates menjelaskan, SP3 merupakan instrumen pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas hak kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) bagi seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Karena disebabkan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 ayat (4) KUHAP).

Selain itu, instrumen SP3 juga merupakan bentuk penghormatan terhadap martabat manusia yang harus diperlakukan secara layak yang basisnya berasal dari prinsip demokrasi (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).

Oleh karena status tersangka yang sudah terlanjur terstigma negatif dapat menjatuhkan martabat siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka meskipun belum tentu bersalah.

Berita Rekomendasi

Negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya.

Bahkan secara konstitusional, ketentuan konstitusional tentang HAM tersebut dalam perspektif historis-filosofis dalam pembentukan negara dimaksudkan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab [vide Pembukaan UUD 1945].

Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan terhadap HAM [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945].

Prinsip sebagaimana diuraikan di atas, melahirkan suatu prinsip yang lain, yaitu bahwa proses peradilan dalam perkara pidana harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan.

Dari prinsip yang demikian lahir pula prinsip dalam proses peradilan pidana, yaitu, “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah.” (PUTUSAN MK Nomor 21/PUU-XII/2014 )

Dalam konteks kasus HRS, menunjukkan bahwa Negara melalui Kepolisian sedang bekerja untuk memastikan adanya pengakuan, jaminan, dan perlindungan atas hak kepastian hukum yang adil serta penghormatan terhadap martabat warga negara.

Pada bagian yang lain, status tersangka HRS yang dianulir melalui SP3 merupakan bentuk kecermatan dari Kepolisian yang menangkap maksud HRS menggunakan diksi-diksi familiar.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas