Doktrin Radikalisme Bisa Diakses di Ponsel, Ini Kata Pakar Cyber Security ITB
Kemajuan teknologi informasi meniscayakan beragam hal. Termasuk doktrin radikalisme yang bisa diakses via media sosial.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG -- Doktrin radikalisme mengatas namakan agama kini bisa mudah diakses di beragam media sosial.
Dua perempuan yang hendak menyerang polisi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, satu diantaranya Siska Nur Azizah (22), mendapat pemahaman radikalismenya lewat jejaring internet.
Bahkan, menurut berita acara pemeriksaan (BAP) yang bocor, ia membai'at kan dirinya pada pimpinan ISIS, Abu Bakr Al-Bagdadi hanya lewat ponselnya dengan cara membaca. Artinya, pemahaman radikalisme bisa diakses di ponsel setiap orang.
Pakar cyber security Institut Teknologi Bandung (ITB) Budi Rahardjo berpendapat, kemajuan teknologi informasi meniscayakan beragam hal. Termasuk doktrin radikalisme yang bisa diakses via media sosial.
"Kita tidak bisa menyalahkan teknologi. Yang bisa kita lakukan adalah edukasi, yang tidak hanya di sekolah tapi dimanapun dengan mengajarkan apa yang seharusnya dan bagaimana yang tidak seharusnya. Kemudian, memanfaatkan teknologi dengan penuh kesadaran, membuang yang tidak bermanfaat," kata Budi via ponselnya, Selasa (15/5/2018).
Revolusi teknologi yang melahirkan sistem operasi android membuat manusia bisa mengakses berbagai hal di ponselnya. Beragam aplikasi bisa diunduh dan dimanfaatkan di ponsel setiap orang. Hanya saja, berkaca pada kasus Siska, tidak jarang informasi digital yang menyebar via pesan-pesan di aplikasi digital justru memuat informasi negatif, sebut saja radikalisme.
"Secara teknis pemerintah tidak bisa intervensi. Kalaupun pemerintah mengintervensi dengan mengontrol aktifitas warganya di ponsel saya yakin semua tidak akan setuju karena itu menyangkut privasi," kata Budi.
Meski begitu, ia tidak memungkiri media sosial apapun yang ada saat ini jadi media untuk pembinaan untuk mengenal radikalisme.
"Pemahaman saya dengan banyak praktisi lain, bahwa media sosial bukan untuk koordinasi soal radikalisme tapi soal pembinaan (radikalisme)," kata Budi.
Sehingga, menurutnya, pendidikan adalah satu-satunya cara untuk menangkal radikalisme lewat media apapun. "Jika anda melihat tulisan-tulisan mencurigakan di media sosial whats app, Facebook, web atau apapun, tegur atau laporkan. Jangan terima informasi digital mentah-mentah," kata Budi. (Mega Nugraha)