Sidang Lanjutan Kasus STT Setia, Hadirkan Saksi Ahli Guru Besar Fakultas Hukum UI
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Eva Acjani Zulfa, S.H, M.H, ketika menjadi saksi ahli dalam sidang kasus Sekolah Tinggi Teologia
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Eva Acjani Zulfa, S.H, M.H, ketika menjadi saksi ahli dalam sidang kasus Sekolah Tinggi Teologia Altamar (STT Setia) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (14/5/2018) siang.
Dr. Eva Acjani Zulfa, menjelaskan, dalam hukum pidana, sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir,setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif. Itulah esensi yang terkandung dalam asas ultimum remidium.
Menurut Eva, asal ultimum remedium mengapa dipergunakan sebagai mekanisme. "Ini agar, selain memberikan kepastian hukum, juga agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun terhadap pelaku itu sendiri, " ungkap Eva Acjani Zulfa.
"Dan lanjut Eva, banyak sekali kasus yang menggunakan asas ini dalam penyelesaiannya. Misalnya dalam kasus pajak, seorang yang diancam hukuman pidana, bisa dihapuskan pidananya jika dia mengaku bersalah, bersedia membayar tunggakan pajak dan denda-dendanya, " terang Eva.
Menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum apakah asas ini bisa dipergunakan untuk semua kasus pidana, Dr. Eva Achjani mengatakan tergantung pada konteksnya. Asas ini tidak bisa dipergunakan dalam UU Tipikor maupun UU Antiterorisme.
"Ultimum remedium merupakan prinsip hukum yang umum, apakah itu akan diterapkan kalau tidak sanksi hukum yang lain atau tidak, yang penting tujuan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat, " jelas Eva.
Hal lain yang ditanyakan oleh Penasihat Hukum terdakwa, Tomy Sihotang, SH adalah mengenai pengertian asas nebis in idem. Menurut saksi ahli arti dari asas tersebut adalah: seseorang tidak dapat disidangkan lebih dari satu kali dalam perkara yang sama.
Dr. Eva mencontohkan satu perbuatan pidana seseorang memecahkan kaca etalase milik orang lain. "Dalam sidang orang tersebut dibebaskan, maka orang tersebut tidak bisa lagi diperkarakan dalam kasus yang sama, " jelasnya.
Sidang kasus STT Setia dengan terdakwa Rektor STT Setia Matheus Mangentang dan Direktur STT Setia Ernawaty Simbolon. Keduanya didakwa telah menyelenggarakan pendidikan tanpa ijin dan penerbitan ijazah secara tidak sah.
Perkara tersebut sudah pernah disidangkan secara perdata maupun pidana, yakni secara perdata di PN Jakarta Barat, dan secara pidana di PN Tangerang. Dalam persidangan hingga tingkat kasasi, Matheus Mangentang dinyatakan tidak bersalah dan menang secara perdata. Kini keduanya disidangkn lagi di PN Jakarta Timur dalam perkara yang sama.
"Pasal 176 KUHP perbuatan fisik atau perbuatan materil dan sudah ada putusan hakim yang berkekuatan tetap. Kalau materi hukumnya sama, maka apapun tuntutannya sama. Maka itu nebis in idem," tegas Dr. Eva Acjani Zulfasaksi sebagai saksi ahli.
Sebelumnya Dirjen Pendidikan Tinggi telah menjatuhkan sanksi administratif kepada Matheus, yakni agar mengurus perijinan sekolah dan menarik ijazah yang sudah dikeluarkan. Ijin sudah diurus dan munculah STIKIP, sebagai pengganti STT Setia.
"Ada satu kasus terdakwa didakwa telah melakukan penyelenggaraan pendidikan tanpa ijin dan penerbitan ijazah secara tidak sah. Kemudian si penyelenggara dijatuhi sanksi administratif. Apakah perlu dijatuhi hukuman pidana?" tanya penasihat hukum terdakwa.
"Setiap penjatuhan sanksi itu tergantung kontek kasusnya. Ada banyak pertimbangan, sehingga di pejabat merada sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi administratif. Penjatuhan pidana menjadi sesuatu yang mubazir, tidak perlu, kalau sudah dijatuhkan sanksi administratif.
Dalam hukum, saksi ahli memaparkan, ada banyak alternatif sanksi yang bisa dijatuhkan kepada seseorang, tetapi prinsipnya harus dipilih yang lebih menguntungkan.
"Misalnya ada pejabat menerbitkan KTP, karena KTP resmi belum keluar. Tetapi kemudian terbukti KTP itu tidak sah. Orang itu memang bisa dipidana, tetapi sanksi lain yang bisa dipilih adalah mewajibkan kepadanya untuk mengurus KTP orang-orang yang diberinya KTP, sampai selesai. Apalagi itu bukan kesalahan dia sepenuhnya, karena KTP resmi memang belum keluar. Jadi tetap ada sanksi, tapi yang kedua lebih bermanfaat," kata Dr. Eva.
Hal lain yang ditanyakan jaksa adalah mengenai pengertian formil dan materil. Menurut Dr. Eva, pengertian formil biasanya terkait dengan aturan, dan pengertian materil adalah dampaknya, yakni yang terdapat dalam perundang-undangan.