Ketua BNPT Berharap Bantuan Teknologi dan Pelatihan Staf di Jepang Tingkatkan Kualitas Antiteror
Ketua BNPT, Drs Suhardi Alius MH berharap agar teknologi Jepang dan pelatihan staf di Jepang harus dapat meningkat dan lebih baik di masa depan.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Drs Suhardi Alius MH berharap agar teknologi Jepang dan pelatihan staf di Jepang harus dapat meningkat dan lebih baik di masa depan.
"Angka terorisme di Jepang memang kecil, tapi teknologi mereka guna menghadapi teroris luar biasa, misalnya sistim face recognition nya yang dapat segera mendeteksi seseorang akan berbuat jahat atau tidak. Sehingga antisipasi dapat sangat cepat terhadap para teroris," kata Jenderal polisi bintang tiga, Komisaris Jenderal Polisi Drs.Suhardi Alius, M.H. (56) kepada Tribunnews.com baru-baru ini di kantornya.
Di Indonesia sendiri, menurutnya, sistem tersebut sudah dipasang di beberapa tempat di Jakarta.
"Teknologi bantu Indonesia menciptakan capacity building. Sharing dengan kemampuan Jepang kita akan memiliki banyak manfaat sehingga bisa menggunakan teknologi lebih tinggi lagi. Belum lagi peningkatan kualitas SDM lebih baik lagi dengan mengirimkan staf kita ke Jepang belajar lebih lanjut. Itu yang kita harapkan," tambahnya.
Baca: Awalnya Hendak Mengajak Bermain, Bocah Grace Malah Tewas di Tangan Kakak Temannya Sendiri
Jepang aktif saat forum internasional di Jordan memfasilitasi fenomena global teroris.
"Saat saya ke Jepang belum lama ini juga mengumpulkan banyak WNI yang ada di Jepang, mengimbau agar mereka jangan mudah terpengaruh cuci otak yang dilakukan teroris supaya meraka jangan tercemar. Saat ini tak ada batas negara lagi dengan kemajuan teknologi yang ada. Komunikasi segera dan lancar bisa dilakukan dengan mudah dari negara yang ada di Turki misalnya dengan kita yang berada di Jepang atau di Indonesia," kata dia.
Pihak BNPT menurutnya telah membuat dan menyebarkan panduan anti teroris, anti radikalisme kepada WNI yang ada di Jepang dan Hong Kong.
"Kita lihat ya, sebenarnya ada tahapan jadi radikal dan mudah dilihat. Misalnya saat kumpul-kumpul ada yang memisahkan diri. Sekali biasa, dua kali biasa, tiga empat kali tentu tidak biasa lalu kita dekati dan tanya ada apa. Kalau tak bisa ditangani ya kita laporin keanehan tersebut ke KBRI dan kalau tak bisa ditangani pula laporkan ke keluarganya di Indonesia agar segera pulang," ujar Suhardi.
Menurutnya itulah salah satu cara monitor yang gampang.
Baca: Puluhan Warga Bogor Keracunan Keong Sawah
Jepang sendiri menurut Jenderal Suhardi adalah tempat yang banyak bisa jadi contoh bagi Indonesia untuk belajar.
"Jepang teratur, ramah, aman, familier. Beberapa paket kelupaan saja tidak akan hilang. Bahkan ada yang tak tersentuh orang lain, masih di tempat semula," kata dia.
Jenderal Suhardi yang mengajar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia banyak memberikan masukan kepada mahasiswa mengenai kebangsaan lalu bahaya radikalisasi masuk ke perguruan tinggi.
"Bentuk pendidikan karakter bangsa yang dilakukan di Jepang dari masa kecil tidak dari besar. Anak-anak diajarkan manners, tata krama baik dari orangtua, guru, dan lingkungan, sopan santun yang mendasar. Nilai-nilai tersebut sampai tua, dari kecil, tak bisa ditanamkan setelah kita dewasa," ujarnya.
Dicontohkannya, di Jepang cara cuci tangan saja sampai antre, tidak lihat anak siapa dalam pengajaran kepada semua murid di sekolah.
"Kebersamaan toleransi dari kecil harus dimulai di Indonesia. Mungkin saat ini ada yang bilang reformasi kebablasan. Dulu ada lalu hilang beberapa saat, hilang satu generasi, bagaimana menangkap masalah-masalah kebangsaan dengan baik," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.