Jaksa KPK: Perkara BLBI Belum Kedaluarsa
Pernyataan ini disampaikan jaksa KPK, Haerudin saat menyampaikan replik atau tanggapan atas eksepsi
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/5/2018) Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah perkara dugaan korupsi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung disebut kedaluarsa.
Pernyataan ini disampaikan jaksa KPK, Haerudin saat menyampaikan replik atau tanggapan atas eksepsi atau nota keberatan terdakwa dan pengacaranya. "Terhadap materi keberatan tersebut, kami menyatakan tidak sependapat," ujarnya.
Menurut jaksa Haerudin, KPK masih memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap Syafruddin. Pasalnya dalam surat dakwaan, perbuatan pidana yang diduga dilakukan terdakwa terjadi pada 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, 13 Februari 2004 dan 26 April 2004.
Dalam waktu tersebut, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah berlaku.
Tidak hanya itu, Syafruddin juga didakwa melanggar melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut memuat ancaman pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, atau pidana mati dalam hal tertentu.
Menurut jaksa, sesuai Pasal 78 ayat 1 dan Pasal 79 KUHP, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, masa kedaluarsa berlaku setelah 18 tahun sejak tindak pidana terjadi.
"Dengan demikian, menurut jaksa, perkara yang dihadapi Syafruddin baru bisa dikatakan kedaluarsa setelah 22 Oktober 2021," tegasnya.
Diketahui dalam eksepsi, pengacara Syafruddin menilai bahwa SKL tersebut adalah kelanjutan dari evaluasi kepatuhan terhadap perjanjian MSAA yang telah dinyatakan final closing pada 25 Mei 1999. Sehingga, apabila ada dugaan tindak pidana, menurut pengacara, perbuatan itu dimulai pada 25 Mei 1999.
Dengan demikian, pengacara Syafruddin menilai perkara tersebut sudah kedaluarsa, karena melebihi waktu 18 tahun yang jatuh pada 25 Mei 2017.