Novum Baru Hingga Kekhilafan Hakim Jadi Alasan Siti Fadilah Ajukan PK
Pengacara Siti Fadilah, Ahmad Kholidin menjelaskan ada beberapa alasan hukum atas permohonan PK.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI 2004-2009, resmi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus korupsi pengadaan alat kesehatan. Sidang perdana juga telah digelar hari ini, Kamis (31/5/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada awak media, Siti mengaku mengajukan PK untuk mencari keadilan. Sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Siti Fadilah dengan pidana penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta subsidair dua bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 1,9 miliar.
Pengacara Siti Fadilah, Ahmad Kholidin menjelaskan ada beberapa alasan hukum atas permohonan PK. Pertama adanya keadaan baru yang dapat merubah keyakinan hakim atau novum.
"Novum baru ini ialah adanya surat pernyataan dari saudari Ria Lenggawati. Ada surat pernyataan yang dibuat, diterbitkan dan ditandatangani oleh saudari Ria pada 10 Januari 2018 selaku staff di Tata Usaha Menteri saat itu," ucap Ahmad Kholidin di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Pada pokoknya menerangkan bahwa tulisan tangan nomor dan tanggal dalam verbal yaitu no:15911/Menkes/IX/2005 tanggal 22-11-2005 adalah benar. Tidak pernah ada kalimat yang menyatakan untuk menunjuk langsung PT Indofarma Tbk sebagai penyedia barang dalam proses pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi KBL Masalah Kesehatan akibat bencana kepada Mulya H Hasjmy selaku Kepala Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan pada Depkes RI," tutur Ahmad Kholidin lagi.
Keadaan ini, lanjut Ahmad Kholidin juga diperkuat dengan fakta hukum di persidangan dan bukti-bukti lain baik keterangan saksi maupun alat bukti tertulis lainnya yang menyatakan bahwa terdakwa selaku Menteri kesehatan tidak pernah memberikan arahan agar menunjuk langsung PT Indofarma sebagai penyedia barang.
"Dengan menghadirkan saudari Ria sudah seharusnya dapat menjadi keadaan novum yang mana jika keterangan Ria dalam pemeriksaan di proses persidangan pada tingkat pertama di dengar keterangannya dapat merubah keyakinan hakim dalam memberikan putusan perkara a quo," ungkapnya.
Ahmad Kholidin melanjutkan Ria sudah membuat surat pernyataan yang ditanda tangani sendiri diatas materai menyatakan benar bertemu dengan tim kuasa hukum Siti Fadilah, diperlihatkan verbal surat rekomendasi permohonan penunjukan langsung pengadaan dan alat perlindungan personal untuk RSPI.
Setelah diperlihatkan, Ria membenarkan tulisan tangan nomor dan tanggal verbal itu adalah benar tulisannya pada 2005 saat bertugas di Tata Usaha Menteri. Surat diajukan oleh Biro Keuangan dan Perlengkapan, saat ini Biro Keuangan dan BMN. Dia juga menyatakan tidak mengetahui maksud dan tujuan atau alasan permintaan nomor dan tanggal mundur dari unit yang mengajukan verbal.
"Itu yang ingin kami bantah, bahwa surat penunjukan langsung tersebut bukan inisiatif dari menteri tapi memang ada suatu rekayasa sistematis dari bawah ke atas. Jadi ibu menteri tidak tahu apa-apa. Di tanggal rekomendasi tersebut 22 November 2005 padahal sebelum terbit ada proses verbal yang di tandatangani staf di bawahnya dari Irjen, Dirjen, Sekjen tanggal 22 Desember 2005. Sehingga kalau rekomendasi jadi, tidak ada waktu lagi melaksanakan penunjukan langsung karena sudah tidak ada anggaran yang diturunkan," paparnya.
Selain novum baru, alasan lain mengajukan PK ialah adanya berbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan yang lain hingga adanya putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atas suatu kekeliruan yang nyata.
"Banyak yang akan kami uraikan. Seperti tidak pernah satu pun ada kalimat Siti Fadilah ke Mulya : Mul tolong kamu bantu tunjuk indofarma karena sama dengan bantu PAN. Ini sudah dibuktikan dalam putusan tidak ada keterlibatan peran lain. Bahkan dalam putusan lalu, tidak ada aliran sedikit pun yang dituduhkan ke Amien Rais, dan petinggi PAN yang lain. Kalimat itu tidak ada, karena di putusan Mulya kalimat itu tidak ada. Tapi sekarang seakan-akan Mulya mengeluarkan kalimat itu, merekayasa agar Bu Siti Fasilah terkena penunjukan langsung," imbuhnya.
Diketahui Siti Fadilah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan korupsi secara bersama-sama. Siti Fadilah bersalah karena melakukan penunjukan langsung saat pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi kejadian luar biasa tahun 2005 pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Departemen Kesehatan atau buffer stcok.
Vonis yang diterima Siti Fadilah ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni pidana penjara enam tahun dan denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan.
Selain divonis pidana penjara dan denda, Siti juga dijatuhi pidana tambahan yakni membayar pidana tambahan Rp 550 juta. Pidana tambahan tersebut berasal dari gratifikasi Rp 1.900.000.000 miliar yang diterima Siti Fadilah dalam bentuk Mandiri Travelers Cheque.
Atas vonis itu, Siti tidak mengajukan banding karena takut hukumannya diperberat. KPK juga memutuskan menerima vonis karena merasa putusan sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat dan Siti Fadilah siap membayar sisa uang pengganti dan denda. Karena tidak ada banding, Siti Fadilah dieksekusi ke Lepas Pondok Bambu, Jakarta Timur.