Menguatkan Toleransi, Hari Lahir Pancasil Dirayakan dengan Buka Puasa Sambil Berwisata di Gereja
Acara dan gerakan tersebut berikhtiar untuk menjalin toleransi, persaudaraan, dan solidaritas demi Indonesia yang damai.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada yang berbeda pada sore hari yang cerah pada Jumat (1/6/2018) di Gereja Katedral Jakarta Pusat.
Beberapa orang yang mengenakan kopiah dan kerudung bertanya di pos penjagaan gereja umat Katolik yang didirikan sejak tahun 1901 itu.
Mereka bertanya kepada petugas keamanan jalan menuju aula Gereja Katedral untuk memenuhi undangan Komunitas Kerja Bakti Demi Negeri yang mengadakan acara Buka Bersama di Gereja Katedral dengan tema "Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan".
Acara dan gerakan tersebut berikhtiar untuk menjalin toleransi, persaudaraan, dan solidaritas demi Indonesia yang damai.
Baca: Pilunya Kisah Cinta Lia Siahaan, Nyawanya Berakhir di Tangan Pendeta, Rencana Menikah Tak Terwujud
Bertepatan dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila ke-73, sekira dua ratusan orang dari beragam komunitas akar rumput masyarakat dari berbagai lapisan berdatangan ke Gereja Katedral yang berada tepat di seberang Masjid Istiqlal sekitar pukul 16.00 WIB.
Gerakan tersebut didukung oleh beberapa organisasi seperti Jaringan Gusdurian, Tempo Institute, Pustaka Bergerak, Gerakan Kebaikan Indonesia, serta individu lain yang memiliki satu visi yang sama.
Tokoh toleransi dari Jaringan Gus durian yang juga merupakan putri dari Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid mengatakan bahwa acara tersebut dibentuk secara spontan sekira satu minggu sebelum diselenggarakan.
Baca: Daya Ledak Bom yang Dirakit di Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau Setara dengan Bom di Surabaya
Katedral dipilih menjadi tempat diadakannya acara tersebut karena sebagai bentuk ungkapan solidaritas terhadap umat kristiani atas teror bom yang terjadi beberapa waktu lalu.
Alissa melihat terorisme sendiri kadang tidak berkaitan dengan intoleransi di Indonesia.
Dari penelitian yang dikerjakan oleh Jaringan Gusdurian dengan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) di enam kota di Indonesia ditemukan bahwa intoleransi tumbuh di masyarakat usia muda.
Namun ia sepakat bahwa kedua hal tersebut merupakan hal yang berbahaya bagi persatuan.
"Kalau intoleransi itu bagi saya sendiri dua-duanya sama-sama berbahaya. Kalo terorisme itu kan menimbulkan paranoia yang besar yang menimbukkan kita tidak percaya dengan kelompok lain. Tapi kalo intoleransi itu bahayanya karena dia merobek-robek prinsip demokrasinya. Karena pasti diskriminasi," kata Alissa di depan Aula Gereja Katedral pada Jumat (1/6/2018).
Alissa berharap kedepannya suara kebaikan untuk perdamaian dan kerukunan semakin kuat untuk mengalahkan suara-suara kebencian yang juga tumbuh beriringan di masyarakat.