KPK Minta Sidang Kasus BLBI Dikawal Bersama
"Hal ini sangat kami sayangkan. Kami percaya hakim akan mempertimbangkan dengan adil karena kasus ini sangar merugikan bangsa,"
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi BLBI kini menjadi konsen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah berharap kasus tersebut dikawal bersama.
Terlebih BPK sebagai lembaga negara yang telah melakukan perhitungan kerugian keuangan negara menyimpulkan ada kerugian Rp 4,58 triliun.
Baca: Gugur Saat Bertugas Di Papua, Keluarga Keberatan Brigadir Sinton Dimakamkan Di Taman Makam Pahlawan
"Kasus BLBI dengan kerugian negara yang sangat besar, perlu dikawal bersama. BPK merupakan instutusi yang kredibel dan berwenang untuk menghitung kerugian negara," ucap Febri, Selasa (3/7/2018) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Baca: Gugur Di Papua, Saluran Pernafasan Brigadir Sinton Dipenuhi Pasir dan Lumpur
Febri melanjutkan lembaganya membaca ada pendapat dari sejumlah pihak yang mencoba membentuk wacana seolah-olah audit BPK yang menghitung kerugian negara saat ini dapat batal demi hukum.
Baca: Kapolri: Penyebab Meninggalnya Brigardir Sinton Di Papua Bukan Karena Penembakan
"Hal ini sangat kami sayangkan. Kami percaya hakim akan mempertimbangkan dengan adil karena kasus ini sangar merugikan bangsa," tegasnya.
Dalam perkara ini, terdakwa Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti (mantan Ketua Komite Kenijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang sahan BDNI pada 2004.