Pengamat: Spirit Larangan Mantan Koruptor 'Nyaleg' Untuk Beri Sanksi Politik kepada Pelaku Korupsi
Dia menilai spirit institusi penyelenggara pemilu seperti KPU ini sangat baik dan perlu didukung oleh institusi yang lain.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang koruptor dan mantan koruptor mencalonkan diri menjadi Calon legislatif (Caleg) merupakan sebuah langkah maju dan progresif.
Sebab keputusan itu dituangkan dalam PKPU.
Apalagi menurut pengamat politik, Sebastian ASalang, spirit dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tersebut adalah memberi sanksi politik kepada pelaku korupsi.
"Dengan demikian diharapkan memberi efek pada politisi lain untuk tidak melakukan tindakan serupa," ujar Koordinator Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu kepada Tribunnews.com, Selasa (3/7/2018).
Dia menilai spirit institusi penyelenggara pemilu seperti KPU ini sangat baik dan perlu didukung oleh institusi yang lain.
Baca: Fahri Minta KPU Jangan Ngotot Pertahankan PKPU Larangan Mantan Napi Korupsi ikut Pileg
Sebab upaya untuk mencegah terulangnya atau terjadinya praktek korupsi harus menjadi semangat bersama sebagai bangsa, bukan hanya menjadi urusan KPK atau KPU.
Menurutnya, tantangan dari keputusan KPU ini adalah UU Pemilu yang masih memberi ruang kepada mantan terpidana korupsi. Sehingga keputusan tersebut rentan untuk digugat.
Meski bisa digugat, lebih lanjut ia memberikan catatan, tidak seharusnya Bawaslu berteriak seolah mengajak para mantan terpidana korupsi untuk datang mengadu kepadanya.
"Jika memang ada yang datang mengadu silahkan dilayani karena menjadi kewajiban Bawaslu," jelasnya.
Selain itu imbuhnya, seharusnya sesama penyelenggara pemilu saling berkoordinasi. Sehingga keputusan yang dikeluarkan memiliki nafas dan semangat yang sama dan tidak bertentangan dengan UU.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mempersilakan partai politik untuk mengusung eks napi kasus korupsi sebagai calon anggota legislatif di Pemilu 2019.
Apabila nantinya Komisi Pemilihan Umum menolak caleg yang diajukan, caleg tersebut bisa menggugat ke Bawaslu.
"UU sudah menyebutkan setiap produk SK KPU bisa jadi obyek sengketa di Bawaslu. Maka, nanti upaya hukumnya adalah upaya sengketa ke Bawaslu," kata Ketua Bawaslu Abhan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2018).
Sikap Bawaslu kontradiktif dengan KPU yang sudah menganggap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi jadi caleg bisa diimplementasikan.
Abhan memastikan, Bawaslu akan berpegang pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal 240 Ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
"Nanti Bawaslu yang memutuskan, apakah pencoretan atau penolakan KPU itu sesuai ketentuan UU atau tidak, Bawaslu akan memutuskan," kata Abhan.
Abhan menegaskan, Bawaslu tidak akan berpegang pada Peraturan KPU Nomor 20/2018. Sebab, aturan itu jelas bertentangan dengan UU yang ada di atasnya.
"Sekali lagi kami bekerja atas dasar norma UU. Kerja kami tidak boleh bertentangan dengan UU," kata dia.
Selain itu, Abhan juga menilai status PKPU 20/2018 juga belum jelas karena belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. (*)