Terima Pimpinan KPK di Istana, Jokowi Bahas RKUHP
Dalam sambutannya, Agus mengungkapkan dirinya tidak mengetahui hukum, tetapi pimpinan KPK lainnya merupakan orang-orang yang sangat ahli
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mulai membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) bersama seluruh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hal tersebut dilakukan, setelah Jokowi menerima seluruh pimpinan KPK di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/7/2018).
"Sebagai Ketua KPK, mewakili teman-teman mengucapkan terimakasih atas undangan Bapak (Presiden) terutama terkait (membahas) Rancangan undang-undang KUHP," ujar Ketua KPK Agus Raharjo.
Dalam sambutannya, Agus mengungkapkan dirinya tidak mengetahui hukum, tetapi pimpinan KPK lainnya merupakan orang-orang yang sangat ahli terhadap dunia hukum.
"Tapi pandangan saya sederhana sebenarnya, pertama rancangan itu benar, dalam arti kita belum punya undang-undang, itu salah satu cara mempunyai undang-undang dulu, yang kemudian meninggalkan warisan dari Belanda," papar Agus.
Selain Agus, empat Wakil Ketua KPK turut hadir yaitu Basaria Pandjaitan, Laode M Syarif, Alexander Marwoto, dan Saut Situmorang.
Sedangkan, pihak pemerintah, Presiden didampingi Menteri Koordinator Polhukam Wiranto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Sebelumnya, KPK sudah lima kali mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan delik korupsi dari RKUHP.
Sebab, KPK menilai delik tersebut dapat melemahkan upaya lembaga anti rasuah memberantas korupsi.
"Kita sudah berulang kali (kirim surat ke Presiden), kalau tidak salah lima kali," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di komplek Istana Negara.
Menurut Basaria, respon Presiden terhadap surat tersebut dengan melakukan beberapa kali rapat. Namun, dirinya tidak menjelaskan sikap presiden selanjutnya setelah rapat.
"Nanti kita lihat lagi hasilnya. Posisinya tetap kita punya pemikiran memang benar-benar itu kodifikasi tapi karena dia sudah jadi undang-undang tersendiri harusnya tidak perlu lagi jadi dua kali. Prinsipnya begitu saja," paparnya.
Diketahui inti dari surat KPK ke Jokowi yaitu pernyataan sikap KPK menolak dimaksukkannya tindak pidana khusus, termasuk tindak pindana korupsi, ke dalam RKUHP dan meminta agar tidak pidana korupsi seluruhnya tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP.