Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gerakan #2019GantiPresiden Dianggap Menarik Tapi Tidak Mendidik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan waktu pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018.

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Gerakan #2019GantiPresiden Dianggap Menarik Tapi Tidak Mendidik
YouTube/CNN Indonesia
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nomor urut 3 Sudrajat dan Ahmad Syaikhu membawa kaus bertuliskan 2018 Asyik Menang, 2019 Ganti Presiden. Aksi ini membuat situasi debat publik kedua Pilgub Jabar di Balairung Universitas Indonesia Depok, semakin panas, Senin (14/5/2018) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan waktu pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden pada 4-10 Agustus 2018.

Namun, jelang satu bulan memasuki pendaftaran belum diketahui pasangan calon yang akan bersaing.

Sejauh ini, baru presiden petahana Joko Widodo yang kemungkinan besar akan maju di pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

Dosen dari President University, Muhammad AS Hikam, mengatakan partai oposisi kesulitan menampilkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden, karena implikasi dari aturan mengenai Pilpres dan sistem politik yang diterapkan secara ambigu di Indonesia.

“Siapa lawan Jokowi adalah implikasi dari persoalan struktural di Indonesia pasca reformasi. Selama tidak diubah, maka akan diulang lagi. Sehingga, walaupun politik pemilihan presiden, implikasi terhadap kehidupan demokrasi akan sangat buruk,” ujarnya dalam sesi diskusi PARA Syndicate bertema “Presidential Race: Siapa Lawan Tanding Jokowi?, Jumat (6/7/2018).

Baca: Jokowi Dinilai Berpotensi Melawan Kotak Kosong di Pilpres 2019

Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan pilihan partai politik atau gabungan partai politik yang saat ini ada di parlemen mengusung capres-cawapres.

Sementara, aturan tidak membuka peluang untuk capres-cawapres independen.

Berita Rekomendasi

Menurut dia, aturan itu mempersulit yang bukan petahana untuk mencalonkan diri.

Sehingga, partai politik harus membentuk koalisi mengusung pasangan calon. Namun, dia menuding, yang terjadi merupakan kartelisasi bukan koalisi.

“Ini menjadi parpol seburuk apapun popularitas mempunyai monopoli di dalam pencapresan. Yang terjadi kartelisasi bukan koalisi. Dari kelompok mafia bersatu, walaupun bersatu tetapi bunuh-bunuhan juga. Mirip dengan koalisi di Indonesia. Kelihatan satu, tetapi kalau ada kepentingan bisa berantem,” kata dia.

Sejauh ini, partai koalisi hanaya mampu memunculkan gerakan #2019GantiPresiden. Dia mengungkapkan alasan mengapa gerakan itu dapat populer di masyarakat.

“Slogan kenapa sangat populer dan atraktif, karena di masyarakat yang sangat senang dengan pembaharuan karena isu begitu menarik, tetapi tidak mendidik. Itu tidak mempunyai implikasi jauh ke depan,” ungkapnya.

Di kesempatan itu, dia juga menyoroti belum ada pasangan calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi.

Dia menambahkan, pasangan calon wakil presiden bagi mantan gubernur DKI Jakarta itu penting bukan hanya untuk pemenangan Pemilu, tetapi saat ditetapkan memimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan.

“Faktanya belum ada lawan. Bahkan, Pak Jokowi belum mendeklarasikan siapa yang akan menjadi wakil. Pasangan menjadi sangat penting bukan saja pemenangan pemilu, tetapi pasca pemilihan. Justru pertanyaan, setelah Pak Jokowi, Insya Allah jadi, bagaimana? Itu pertanyaan yang sangat penting,” tambahnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas