Pemuda Muhammadiyah Sebut 2 Alasan Mengapa Ambang Batas 20 Persen Terus Digugat
Namun, ujar Dahnil, di era pemerintahan Jokowi, demokrasi yang ada merupakan demokrasi yang membodohi.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak mengutarakan sejumlah alasan kenapa gugatan terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang ambang batas 20 persen atau presidential threshold terus dilakukan dan penting.
"Pertama itu karena seharusnya demokrasi kita menjadi instrumen yang menggemberikan, tapi sekarang demokrasi kita suram, narasinya irasional," ujarnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (9/7/2018).
Jika perdebatan atau perselisihan terjadi karena sesuatu yang rasional, dikatakan Dahnil, itu masih berada dalam tahap yang wajar, sebab itulah demokrasi.
Namun, ujar Dahnil, di era pemerintahan Jokowi, demokrasi yang ada merupakan demokrasi yang membodohi.
"Kita dibodohi dengan narasi-narasi yang menghina nalar publik. Jadi akal sehat pada demokrasi semenjak pemerintah Jokowi ini seolah-olah tidak bisa hadir," tutur Dahnil.
Dia mencontohkan bahwa kritik yang dilontarkan kepada salah satu pihak kemudian ditarik kepada afiliasi dari pemerintah ataupun oposisi.
"Kalau kita kritik kebijakan Jokowi dibilang membela Prabowo. Kalau kritik Prabowo dibilang mendukung Jokowi, jadinya perdebatan politik kita malah menyerupai fansclub seorang artis," ujarnya.
Selanjutnya, dikatakan Dahnil, jika ambang batas 20 persen tetap dipertahankan, maka tidak ada yang namanya upaya koreksi dan evaluasi terhadap mandat yang sudah diberikan.
"Kita milih di tahun 2014, tapi itu jadi rujukan untuk pemilu tahun 2019. Jadi kita tidak punya kesempatan melakukan evaluasi terhadap mandat yang sudah diberikan. Padahal substansi demokrasi itu ketima kita memberikan mandat, kita boleh mengvaluasi terhadap mandat itu," tambahnya.
Dengan begitulah, Dahnil mengungkapkan, pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bertabrakan semuanya, termasuk dengan UUD 45 Pasal 6a.
"Presiden dan Wakil Presiden dipilih setiap lima tahun. Artinya apa, itu harusnya ada evaluasi setiap lima tahun terhadap mandat kita," pungkasnya.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi pada Senin kemarin menggelar sidang perdana gugatan uji materi Pasal 222 Undang-Undang nomor 7 Tahun 2017 terkait ambang batas 20 persen.
Adapun penggugat pasal tersebur terdiri dari lima orang, yakni Effensi Ghazali, Reza Indragiri, Ahmad Wali, Khoe Seng, dan Usman.