Tuntutan 15 Tahun Penjara Bagi Syafruddin Temenggung Dinilai Berlebihan
Kalau ditanya soal penilaian atas tuntutan 15 tahun (penjara), ya itu sangat berlebihan.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan bagi mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Temenggung dinilai sangat berlebihan.
Hakim sebaiknya tidak melihat perkara itu sebagai kesalahan pribadi Syafruddin. Apalagi tuduhan terhadap Syafruddin juga belum jelas apakah masuk wilayah pidana atau perdata.
Demikian disampaikan oleh Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir, menjawab pertanyaan wartawan atas tuntutan 15 tahun terhadap Syafrudin Temenggung, di Jakarta, Selasa (4/9/2018).
“Kalau ditanya soal penilaian atas tuntutan 15 tahun (penjara), ya itu sangat berlebihan. Sebab keputusan terakhir Syafruddin sebagai kepala BPPN mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI terhadap debitur Sjamsul Nursalim merupakan rangkaian dari keputusan-keputusan yang telah diambil pejabat atau kepala BPPN sebelumnya,” kata Mudzakir.
Mengkritisi soal konstruksi dalam tuntutan jaksa, menurut Mudzakir, persoalan pokoknya harus diluruskan. SKL tersebut tidaklah berdiri sendiri, bukan merupakan keputusan Syafruddin seorang, melainkan merupakan rangkaian keputusan yang diambil oleh pejabat-pejabat sebelumnya di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
“Jadi, jika ingin menyelesaikan soal SKL BLBI ini ya, kembali pada masalah keperdataan Sjamsul Nursalim. Jika pemerintah tak mau dirugikan, cabut saja SKL, lalu yang bersangkutan diwajibkan membayar utangnya pada negara. Dan tanggung jawab Kementerian Keuangan lah untuk menagih setelah BPPN dibubarkan,” katanya.
Pada bagian lain dia menilai tuduhan korupsi dan berupa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi juga tidak tepat dialamatkan kepada Syafruddin. Sebab polemik atau perdebatan pokok perkaranya saja belum tuntas. “Apakah benar itu ada pidana, ini kan masalah perdata, harusnya diselesaikan dulu perdatanya, jika ada unsur pidana baru dibawa ke pidana,” katanya.
Wewenang Penghapusbukuan
Dalam sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin, jaksa menuntut Syafruddin dengan Pasal 2 Ayat (1) UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Pada unsur melawan hukum, jaksa menilai Syafruddin melanggar UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sementara Syafruddin mendasarkan tindakannya pada Peraturan Pemerintah (PP) 17/1999 tentang BPPN yang memberikan wewenang penghapusbukuan.
Unsur memperkaya diri sendiri, jaksa hanya berlandaskan pada penolakan Syafruddin untuk menjelaskan harta kekayaannya, dengan alasan ia telah mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty) dan UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak melarang untuk membuka informasi itu.
Penolakan Syafruddin itu serta-merta diartikan jaksa bahwa Syafruddin terbukti khawatir hartanya diketahui tidak sebanding dengan penghasilannya sebagai mantan PNS. Sementara itu perhitungan kerugian negara didasarkan cuma pada satu sumber yakni BPK.
Penasihat hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan jaksa gagal mengungkap kesalahan Syafruddin. Hal prinsipil yang tidak diungkap jaksa adalah kapan tindak pidana itu terjadi, sementara seluruh saksi yang dihadirkan di persidangan menyatakan kerugian negara terjadi sejak 2007, ketika aset Dipasena dijual oleh Kemenkeu dengan harga hanya Rp220 miliar.
Yusril menegaskan, Syafruddin telah menyerahkan seluruh tanggung jawab selaku kepala BPPN kepada Menteri Keuangan sejak 2004. Termasuk penyerahan hak tagih Rp4,8 triliun kepada petambak. “Setelah menyerahkan itu, berarti tanggung jawab SAT selesai,” ujarnya.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.