Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Syafruddin Bacakan Sendiri Pledoi Pribadinya Setebal 110 Halaman

Pledoi anda 110 halaman, saudara baca sendiri. Kalau bisa skema tidak perlu dibaca, nomor SK juga. Tapi kalau mau baca utuh silahkan saja

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Syafruddin Bacakan Sendiri Pledoi Pribadinya Setebal 110 Halaman
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terdakwa kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI Syafrudin Arsyad Temenggung menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (23/8/2018). Dalam sidang yang beragendakan pemeriksaan terdakwa tersebut, Syafruddin menjelaskan kepada majelis hakim bahwa semua keputusan yang diambil olehnya selalu mengacu pada rekomendasi Tim Penanganan Bantuan Hukum (TPBH) yang ditunjuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Oktober 2002. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa ‎‎perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung, Kamis (13/9/2018) siang membaca pledoi atau nota pembelaan pribadinya dihadapan majelis hakim, jaksa KPK, kuasa hukumnya dan para peserta sidang.

Pantauan Tribunnews.com, Syafruddin ‎sudah satu jam ini membacakan sendiri pledoi pribadinya setebal 110 halaman. Terus menunduk, Syafruddin tidak berhenti membaca pledoi pribadinya itu.

"Pledoi ini kami buat sendiri, ini curahan hati kami," ‎kata Syafruddin.

Di sela-sela pembacaan pledoi, Ketua Majelis Hakim, Yanto menyarankan agar Syafruddin tidak membacakan nomor Surat Keputusan (SK) secara lengkap, termasuk bagan-bagan di pledoinya tidak dibacakan. Pasalnya baik majelis hakim maupun jaksa KPK sudah menerima salinan dari pledoinya.

"‎Pledoi anda 110 halaman, saudara baca sendiri. Kalau bisa skema tidak perlu dibaca, nomor SK juga. Tapi kalau mau baca utuh silahkan saja," ujar hakim Yanto.

Merespon itu, Syafruddin mengamini untuk pembacaan SK hanya tanggalnya saja tidak membacakan nomor SK. Beberapa halaman berupa bagan dan skema diakui Syafruddin sudah diringkas.

Selanjutnya, setelah 50 halaman membaca tanpa henti. Syafruddin meminta izin pada majelis hakim untuk minum karena sudah kehausan.

BERITA TERKAIT

"Izin yang mulia, boleh saya minum dulu? ," kata Syafruddin.

"Silahkan, minum dulu, anda kan membaca sendiri pledoinya. Kalau mau ke toilet juga silahkan, kami skors lima menit," ujar hakim Yanto.

Syafruddin menyatakan tidak perlu ke toilet, melainkan dia hanya ingin minum untuk menghilangkan dahaga.

Sebelumnya dalam sidang awal September 2018 lalu, jaksa KPK menuntut Syafruddin dengan pidana selama 15 tahun penjara‎ dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan terdakwa Syafruddin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan dengan perintah tetap ditahan," ujar jaksa KPK, Haerudin saat membacakan surat tuntutan, Senin (3/9/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam merumuskan tuntutan pidana, jaksa juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hal yang memberatkan, terdakwa dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.

Terdakwa juga terbukti merupakan pelaku yang aktif dan melakukan peran yang besar dalam pelaksanaan kejahatan, pelaksanaan kejahatan menunjukkan adanya derajat keahlian dan perencanaan terlebih dulum

"Akibat perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian negara yang cukup besar dan terdakwa tidak mengakui secara terus terang dan tidak menyesali perbuatannya," ungkap jaksa Haerudin.

Sementara itu, hal-hal yang meringankan ialah terdakwa belum pernah dihukum dan sopan selama persidangan.

‎Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun‎ 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.

Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti, mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang saham BDNI pada 2004.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas