Rentan KDRT dan Kemiskinan, Tren Pernikahan Anak Harus Segera Dihentikan
Selain itu, anak yang menikah dini juga akan putus sekolah sehingga wajib belajar 12 tahun tak terpenuhi.
Editor: Hasanudin Aco
Siti Khoirun Ni’mah, Program Manager INFID menambahkan pelaksanaan SDGs sudah memasuki tahun ketiga.
Baca: Kronologis Lengkap Seorang Ibu Angkat di Makassar Sekap Tiga Anaknya Bersama Puluhan Binatang
Masalah perkawinan anak semestinya bisa dipecahkan melalui pelaksanaan dan pencapaian SDGs.
Untuk itu lanjut Siti menjadi penting adanya peta jalan pencapaian SDGs yang disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
"Sehingga hambatan-hambatan yang terjadi terkait dengan perkawinan anak dapat dipecahkan bersama-sama," ujar Siti.
Guna mendorong adanya kolaborasi para pihak, INFID akan menyelenggarakan Seminar Nasional SDGs di Jakarta pada tanggal 20 September 2018 yang akan dihadiri oleh 200 orang peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Tema seminar nasional adalah Konsolidasi Pemangku Kepentingan dalam Pelaksanaan dan Pencapaian SDGs di Indonesia.
Melalui Seminar Nasional, diharapkan terjadi pertukaran informasi dan pembelajaran para pihak untuk pencapaian SDGs yang inklusif dan partisipatif.
Sekedar diketahui, pernikahan anak terus terjadi di Indonesia. Bulan Agustus lalu di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan seorang anak lelaki yang baru lulus Sekolah Dasar (SD) mempersunting remaja perempuan berusia 17 tahun.
Berita itu memperpanjang daftar pernikahan anak yang terungkap ke publik. Di Provinsi Sulsel, sepanjang Januari-Agustus tahun ini sudah ada 720 kasus pernikahan anak, demikian data dari Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) provinsi tersebut.
Sulsel memang termasuk salah satu provinsi yang memiliki angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia seperti disebut dalam laporan "Perkawinan Usia Anak di Indonesia".
Laporan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada Januari 2017 lalu itu juga menyebut di antara perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun, 22,82 persen menikah sebelum usia 18 tahun.
Angka tersebut diperoleh dari Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS pada 2015.
Perkawinan usia anak ini tak hanya terjadi di daerah tertentu saja.
Praktiknya terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi dibanding angka nasional (22,82 persen).
Lima provinsi dengan angka prevelensi terbesar yakni Sulawesi Barat (34,22 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).