Pengamat Ini Sebut Pemilu 2019 'Berbahaya'
Menurut Qosim, hal maksimal yang dapat di lakukan untuk mengkampanyekan capres-cawapres yang mereka dukung ialah memasang foto mereka
Penulis: Yanuar Nurcholis Majid
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Yusuf Qosim menilai pemilu serentak 2019 akan 'berbahaya' bagi penyelenggaraan pemilihan presiden (Pilpres).
Hal itu lantaran penyelenggaran Pilpres berbarengan dengan Pileg, dimana menurut Qosim partai politik dan para calon legislatif itu lebih mementingan dirinya sendiri.
Baca: Update Gempa di Sulteng: 10 Orang Dilaporkan Terluka
"Kenapa sisi berbahaya nya, parpol dan caleg itu lebih mementingkan dirinya untuk lolos ke DPR, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2, daripada mengkampanyekan capres," ujar Qosim, di Rumah KMA, Jakarta Selatan, Jumat (28/9/2018).
Selain itu faktor berikutnya yang menjadikan pemilu 2019 menjadi "berbahaya" adalah adanya ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (pt) sebesar 4 persen yang banyak dikhawatirkan parpol.
"Pt 4 persen ini akan dikerja oleh parpol, kalo tidak sampai PT 4 persen bubar itu parpol," ujar Qosim.
Menurut Qosim, hal maksimal yang dapat di lakukan untuk mengkampanyekan capres-cawapres yang mereka dukung ialah memasang foto mereka di alat peraga kampanye yang mereka miliki.
"Paling banter yang dilakukan caleg adalah bikin sriker atau banner atau sepanduk, itu ada gambar calon presiden wakil presidennya, paling banter itu," ujar Qosim.
"Bagi calon kalo dia melakukan secara langsung ada dua misalkan, itu bekerjanya lebih berat dari pada dia melakukan kampanye buat dirinya sendiri, logikan kan begitu," sambungnya.