Pemerintah Godok Tiga Alternatif Solusi terkait Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Guru Honorer
Ada tiga alternatif solusi yang digodok Kantor Staf Presiden bersama Kementerian terkait upaya meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
Penulis: Dewi Agustina
Opsi ini dari aspek tertentu lebih fleksibel dibandingkan dengan PNS.
Contohnya terkait Batas Usia Pelamar (di atas usia 35 tahun) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Karena penerbitan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PP Manajemen P3K) dan Perpres tentang jabatan yang dibuka bagi P3K menjadi sangat urgent karena menjadi payung hukum penyelesaian masalah ketidakjelasan status pegawai dan pengangkatan tenaga honorer.
Opsi ketiga adalah pendekatan Kesejahteraan. Bagi tenaga honorer yang tidak lolos seleksi CPNS dan nantinya (apabila PP Manajemen P3K sudah ditetapkan dan terimplementasi) tidak juga lolos seleksi P3K, terdapat opsi pendekatan kesejahteraan.
Pemerintah sedang mengkaji dampak fiskal untuk meningkatkan dukungan tambahan transfer daerah lewat mekanisme Dana Alokasi Umum dari Kementerian Keuangan agar Pemda dapat membayar gaji TH-K2 gaji sesuai UMR.
Yanuar Nugroho menuturkan, pemerintah senantiasa melakukan berbagai simulasi untuk mencari jalan terbaik bagi guru honorer dengan menghitung estimasi setiap pilihan.
Pertimbangan mengangkat kesejahteraan guru dengan tetap mempertimbangkan keterbatasan anggaran dan menjaga standar guru kita.
"Ini upaya terbaik untuk semua tenaga honorer, kata Yanuar Nugroho sembari berharap agar guru honorer yang memenuhi syarat minimum mau melamar menjadi Guru PNS.
Yanuar Nugroho tak sepakat dengan pandangan yang menyatakan nasib guru honorer menjadi seperti sekarang karena kesalahan mereka sendiri yang mau menjadi guru honorer.
Ia meminta semua pihak mengingat besarnya peran guru yang mau bekerja di daerah pelosok dan terpencil meski dengan honor yang minim.
"Sudah kewajiban negara untuk memperhatikan kesejahteraan mereka," kata Yanuar Noghoro.
Pemerintah, kata Yanuar Nugroho, tak sekadar memikirkan kesejahteraan tapi juga kompetensi dan seleksi.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pemerintah tak hanya bertanggung jawab pada guru namun juga pada murid dan orang tua murid.
Menurut Yanuar Nugroho, jika tanpa seleksi, maka pemerintah tidak bisa memastikan guru yang mengajar anak kita memang telah memiliki standar kapasitas minimum tertentu.
Proses seleksi juga membantu memastikan distribusi guru menjadi lebih merata. Jadi seleksi harus tetap ada.
"Detail kriterianya seperti apa, masih bisa kita diskusikan," kata Yanuar Nugroho.