Kasus Baiq Nuril, KPK Bisa Usut Motif Kasasi Jaksa Mataram
Ketika ditanya apakah dengan demikian, KPK bisa masuk untuk mendalami apakah ada dugaan upaya suap yang dilakukan pelapor perkara Nuril
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Hakim Mahkamah Agung kamar pidana khusus, Djoko Sarwoko, berpendapat KPK bisa masuk melakukan pendalaman motif pengajuan kasasi Kejaksaan Negeri Mataram terhadap perkara guru honorer, Baiq Nuril Maknun.
Awalnya, Djoko menjelaskan, bahwa upaya kasasi yang dilakukan Kejari Mataram terhadap putusan bebas Nuril memang bisa dipertanyakan.
"Yah itu ada dua pendapat tetapi kalo kita berpegang kepada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) putusan bebas itu enggak bisa di kasasi dan enggak bisa banding," katanya saat ditemui wartawan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (22/11/2018).
Djoko pun menambahkan, perkara putusan bebas yang dapat dikasasi oleh penegak hukum bila terjadi onslag.
"Yang bisa dibanding itu bila putusan onslag artinya sebenarnya terbukti dakwaan tetapi bukan perbuatan pidana itu boleh di kasasi," ujarnya.
Namun, ketika ditanya apakah dengan demikian, KPK bisa masuk untuk mendalami apakah ada dugaan upaya suap yang dilakukan pelapor perkara Nuril dengan Kejari Mataram.
Djoko pun menjawab bisa saja.
"Saya kira bisa saja kalo perkara korupsi (terkait dunia peradilan) memang sudah banyak," tuturnya.
Seperti diketahui, publik dihebohkan dengan putusan MA terhadap Baiq Nuril yang diduga melakukan pelanggaran atas Pasal 27 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam putusan persidangan tingkat pertama, Nuril yang merekam panggilan telepon mantan atasannya, yakni Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim yang diduga melakukan pelecehan seksual itu dinyatakan tidak bersalah.
Namun, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq Nuril Maknun bersalah.
Nuril dijatuhi vonis enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta.