Dirut Perum Jasa Tirta lI Tersangka Korupsi Pengadaan Pekerjaan Jasa Konsultan
Usai diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Djoko diduga memerintahkan melakukan relokasi anggaran.
Editor: Choirul Arifin
Laporan Reporter Kontan. Muhammad Afandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama Perum Jasa Tirta lI, Djoko Saputro sebagai tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultan di Perum Jasa Tirta (PJT) Il Tahun 2017.
“DS (Djoko Saputro) selaku Direktur Utama Perum Jasa Tirta Il diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, sehingga diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,” ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jumat (7/12/2018).
Febri menerangkan, usai diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Djoko diduga memerintahkan melakukan relokasi anggaran.
Revisi anggaran ini dilakukan pada pekerjaan Pengembangan SDM dan Strategi Korporat yang pada awalnya senilai Rp 2,8 miliar ditambah menjadi Rp 9,55 miliar.
Lebih rinci, yakni pada Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp 3,82 miliar. Kemudian anggaran di Perencanaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan senilai Rp 5,73 miliar.
Baca: Usul PSI Korupsi Orba Jadi Materi Debat, Bisa Seret Tokoh Era Orde Baru di Pemerintahan Jokowi-JK
Selain Djoko, KPK juga tetapkan seorang pihak swasta bernama Andririni Yaktiningsasi sebagai tersangka. Andririni merupakan orang yang ditunjuk dan diperintah Djoko untuk melaksanakan dua pekerjaan tersebut.
“AY (Andririni Yaktiningsasi) diduga menggunakan bendera perusahaan PT. PT BMEC (PT. Bandung Management Economic Center) dan PT. 2001 Pangripta,” ungkap Febri.
Baca: 57,8 Persen Responden Akan Pilih Pemimpin Seagama, Peneliti LIPI Ini Sebut Ada Intoleransi Politik
KPK menduga penggunaan nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
Selain itu ada indikasi rekayasa pelaksanaan lelang dengan modus backdated terhadap dokumen administrasi lelang.
Kata Febri, setidak-tidaknya Negara mengalami kerugian senilai Rp3,6 miliar akibat tindakan ini. Nilai tersebut dihitung berdasarkan dugaan keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut.
“Atau setidaknya lebih dari 66% dari pembayaran yang telah diterima,” jelas Febri.
Dua orang tersangka ini dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.