Keluarga Korban Resah Saat MK Beri Waktu Tiga Tahun untuk Naikkan Batas Usia Perkawinan
Endang menyatakan dirinya tak ingin menunggu tiga tahun agar tidak ada lagi pernikahan di usia anak-anak.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - “Saya apresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kabulkan gugatan batas usia perkawinan tapi tiga tahun itu waktu yang panjang, dan kenapa harus dilempar ke DPR, harusnya MK bisa,” ujar Endang Wasrinah (40) warga Indramayu, Jawa Barat, Kamis (13/12/2018).
Endang merupakan satu dari tiga pemohon uji materi Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebut batas perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun.
Ia menyampaikannya secara terbata-bata dan dengan intonasi yang tak beraturan kepada awak media.
Matanya berkaca-kaca serta raut wajahnya menunjukkan kegembiraan yang tertahan atas putusan MK yang baru saja dibacakan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Dalam putusan tersebut MK mengabulkan permohonan agar batas usia perkawinan diharmonisasikan dengan UU Perlindungan anak di mana seseorang harus menikah saat umurnya meninggalkan usia anak-anak yakni saat sudah berusia 18 tahun.
Endang menyatakan dirinya tak ingin menunggu tiga tahun agar tidak ada lagi pernikahan di usia anak-anak.
Ia mengaku merasa terenggut masa mudanya akibat pernikahan dini tersebut.
“Saya inginnya jangan lagi ada perempuan yang seperti saya, sangat disayangkan kenapa batas usia perkawinan 16 tahun, di masa itu jelas ada rasa minder karena seharusnya saya sekolah, dimanja orang tua tetapi malah menjadi orang tua dan mengurus anak, saat itu saya sudah punya anak tiri,” ungkap Endang yang menikah pada usia 14 tahun.
Baca: Jokowi Akan Terus Tingkatkan Lagi Daya Saing Meski Sudah Meningkat
Endang pun mengaku pernah mendapatkan perlakuan kasar akibat pernikahan dini tersebut.
Sementara itu Kuasa Hukum pemohon bernama Anggara mengaku bingung dengan keputusan MK memberi kesempatan kepada pembuat undang-undang yaitu pemerintah dan DPR RI untuk melakukan perbaikan batas usia perkawinan yang diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tersebut.
“Memang kata MK kalau dalam waktu tiga tahun tidak direvisi maka akan disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak di mana batas seseorang disebut anak atau tidak di usia 18 tahun tersebut, tapi saya khawatir selama tiga tahun itu pernikahan usia anak bisa terus terjadi, sampai sekarang saya juga tidak paham kenapa tiga tahun,” keluhnya.
Kemudian Lia Anggiasih dari Koalisi Perempuan Indonesia yang juga masuk dalam tim hukum pemohon mengatakan potensi bertambahnya kasus pernikahan usia anak sangat bisa terjadi selama waktu tunggu tiga tahun tersebut.
“Selama tiga tahun mendatang nasib anak-anak akan terkatung-katung, harus dipantau karena potensi bertambahnya pernikahan usia anak sangat bisa terjadi,” terangnya.
Lia menjelaskan bahwa di masa tunggu tiga tahun itu bisa muncul orang-orang lain yang bernasib sama seperti Endang, yang pernikahannya berjalan tak menyenangkan bahkan hanya bertahan dalam waktu singkat.
“Mengawinkan anak pada usia sangat muda seperti itu salah karena pasti ada kekerasan, secara mental dan biologis dia tak siap tapi dipaksa untuk melayani suaminya, bahkan dalam kasus Bu Endang perkawinan beliau hanya bertahan enam bulan,” ceritanya.
Di akhir wawancara Anggara mengatakan kekhawatiran berbagai pihak soal penyerahan revisi UU Perkawinan yang diamanatkan MK kepada pembuat undang-undang itu wajar melihat ‘track record’ DPR RI selama ini.
“Kalau kita lihat banyak undang-undang yang baru diselesaikan pada masa-masa akhir maka pantas bila banyak pihak khawatir,” pungkas Anggara.