Cerita Ustaz Abror Tersangkut Kabel Listrik dan Selamat dari Tsunami Selat Sunda
Usai mengebumikan tiga keluarganya di Pemakaman yang tidak jauh dari rumahnya itu, Ustaz Abror yang mengalami sejumlah luka di kaki
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Ustaz Saiful Abror tidak pernah menyangka kegiatan liburannya bersama keluarga, jemaah pengajian serta aktivis pesantren di Pantai Carita, Banten akan berujung nahas.
Dari 16 orang rombongan pengajiannya di Kompleks Bukit Nusa Indah, Ciputat yang ikut berlibur, hanya 7 orang yang selamat.
Tiga anggota keluarganya yakni sang istri, Siti Nur Alfisyah (36), dan dua anaknya Muhamad Zein Karim (3) dan Nihlatuz Zahra (11) meninggal akibat terjangan ombak ke vila tempat ia menginap di Pantai Mutiara Carita Banten.
Ketiganya telah dikebumikan di Pemakamam Islam Al Hidayah, Kelurah Serua, Ciputat, Tangerang Selatan, pada Senin (24/12/2018).
Baca: Dampak Tsunami Selat Sunda, Wisatawan Pantai di Gunungkidul Menurun
Usai mengebumikan tiga keluarganya di Pemakaman yang tidak jauh dari rumahnya itu, Ustaz Abror yang mengalami sejumlah luka di kaki kemudian menyambut kedatangan sejumlah pelayat di rumahnya Jalan Pinang, Kompleks Bukit Nusa Indah, Ciputat. Banyak kerabat dan tetangga bertanya kepada Ustaz Abror mengenai peristiwa tsunami itu.
Duduk di kursi plastik di depan rumahnya di Jalan Pinang, Bukit Nusa Indah Ciputat, Ustaz Abror menceritakan detik detik ombak menerjang penginapannya sekitar pada Sabtu malam (22/12/2018) pukul 19.30 wib itu.
Saat itu di ruang tamu penginapan ia bersama sejumlah rombongan sedang mengobrol membicarakan masalah pengajian. Namun, tiba tiba salah seorang temannya memberi tahu bahwa ada ombak yang dari jauh tampak ketinggiannya sekitar tiga meter.
Tidak lama berselang petugas vila tempat ia menginap memberitahu untuk segera evakuasi. Ustaz Abror lalu berlari ke dalam kamar untuk mengambil kunci mobil.
"Saat di dalam kamar istri saya nanya, 'abi ada apa?' terus saya bilang ada air naik, anak anak tolong dijaga, saya parkir mobil dulu," kata Ustaz.
Saat baru menyalakan mesin mobil, suara gemuruh ombak makin nyaring terdengar. Ia pun memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Tidak lama setelah pintu mobilnya tertutup, ia sudah tersapu ombak.
"Saya buru buru ke luar mobil, baru saja saya tutup pintu, saya sudah kesapu air," katanya.
Saat terseret oleh air laut itu, Ustaz Abro tersangkut kabel listrik yang masih ada aliran listriknya. Sengatan listrik dari kabel yang menyangkut tersebut terus ia tahan sambil berdoa kepada Tuhan untuk diberi keselamatan.
"Ya allah ya allah saya nyebut, terus lepas kabelnya," katanya.
Ustaz Abror menunggu air agak surut untuk kemudian bangkit. Setelah air laut surut hingga dengkul ia teringat istri dan ke empat anaknya masih berada di dalam kamar.
ia berjalan menuju vila tempatnya menginap yang jaraknya kurang lebih 100 meter. Saat tiba, cotage dengan bentuk bangunan semi permanen itu sudah hancur. Dalam kondisi gelap ia kemudian memanggil istri dan anaknya.
"Umi, umi dimana, nak-nak," kata Ustaz dengan suara bergetar.
Tidak lama ia mendengar suara anak pertanya bernama Lutfathun Nisa (13) memanggil. Suara itu ternyata berasal di bawah timbunan sampah, kayu, dan material bangunan yang tersapu dan terbawa air laut.
Saat sedang menyingkirkan sampah bangunan yang tingginya lebih dari satu meter itu ia menemukan sejumlah kerabat dan tetangganya. Salah satunya Suhartini yang tak lain adalah keponakannya dalam posisi tergencet. Namun nahas keponakannya itu tidak terselamatkan
"Anak saya masih belum kelihatan, ponakan saya di bawah, saat itu ia masih komunikasi, cuma dia bilang saya sudah tidak akan lama lagi," katanya.
Setelah menemukan salah satu anaknya, ustaz Abror lalu mencoba mengangkat tumpukan material bangunan yang menghimpit sejumlah keluarganya. Dengan badan penuh luka, tidak banyak benda yang ia bisa singkirkan.
"Saya sudah berusaha menyelamatkan, cuma kita kemamapuan terbatas, engga mungkin mengangkat tumpukan sebesar itu. Saya hanya menyebut 'ya Allah, saya datang ke sini bukan untuk maksiat, saya untuk ibadah menghibur keluarga saya, menggemberikan keluarga saya. Berilah kami keselamatan'," katanya.
Sekitar satu jam setelah kejadian datangah sejumlah orang untuk mengevakuasi. Ia kemudian berjalan sambil menggendong anaknya yang paling besar. Saat sedang berjalan ia melihat anak ketiganya Muhamad Ali Rido (4) sedang digendong polisi.
Dengan penerang terbatas anak ketiganya itu lalu memanggilnya. Saat itu kondisi Ustaz Abror tidak bisa membawa ke dua anaknya sekaligus. Ia lalu meminta kepada Polisi, untuk mengantarkan anaknya itu ke Puskemsa.
"'Abang (Alif ridho) ini abi, dia jawab 'abi dimana', saya bilang, 'abang maaf Abi tidak bisa tolong abang sekarang'. Saya cuma bisa berdoa selamatkan lah anak saya," katanya.
Dengan kondisi sekelilinya porak poranda, Ustaz Abror baru dievakuasi ke Puskesma sekitar Minggu dini hari pukul 01.00 Wib. Begitu tiba di sana, sudah banyak korban yang sedang dirawat.
Tanpa handphone dan kerabat yang dikenali di Puskesma yang letaknya sudah hampir masuk Kabupaten Pandeglang itu, ustaz Abror hanya bisa pasrah. Pada pukul 11 siang, ia baru mengahui bahwa anak pertama dan ketiganya selamat, namun nahas anak ke dua, ke empat, serta sang istri meninggal dunia.
Tidak ada Firasat
Ustaz Abror (38) mengaku tida ada firasat sama sekali sebelum Tsunami menerjang penginapannya di Kawasan Mutiara Ancol, pada Sabtu malam (22/12/2018). Termasuk firasat bahwa istri dan dua anaknya akan meninggal.
Saat berangkat liburan di hari kejadian sang Ustaz mengaku dalam kondisi berbahagia. Ia dan keluarganya bercanda dan besolawat di dalam mobil. Apalagi liburan itu menurutnya merupakan momentum berkumpul ia dan keluarganya, karena anak pertamnya belajar di pondok pesantren.
"Tidak ada firasat apapun, kami dalam kondisi berbahagia, kara saya selalu tekankan kepada keluarga saya kalau liburan tidak boleh membuat kesel atau jengkel, sehingga bisa bahagia," katanya.
Begitu pula dengan sikap istrinya, Siti Nur Alfisyah (36). tidak ada perubahan sikap atau apapun dari sang istri yangsehari-hari berprofesi sebagai ibu rumah tangganya ittu. Sang istri yang merupakan anak ke 4 dari 9 bersaudara tersebut selalu tampak riang termasuk saat melanunkan Solawat dalam perjalanan menuju pantai Carita.
"Komunikasi saya terkahir ya itu saat saya masuk kamar untuk memarkirkan mobil karena ada ombak, ia tanya Abi mau kemana?" katanya.
Ustaz Abror mengaku tidak mau mencari tahu firasat atau mengait-ngaitkan kejadian sebelum meninggal, karena musibah yang terjadi merupakan kehendak Tuhan. Menurutnya tidak ada yang tahu kapan seseorang meninggal.
"Tidak ada firasat apa apa, kita berhusnudzon pada Allah. Engga ada suara burung macam macam," katanya.
Begitu pula dengan firasat atau tanda tanda sebelum ombak pantai Selat Sunda menghantam penginapannya. Tidak ada sama sekali gempa sebelum kejadian tersebut.
Hanya saja sekitar Sabtu sore ia melihat dari kejauhan anak gunung krakatu mengeluarkan api (erupsi). Kejadian itu disertai suara gemuruh menggelegar.
"Hanya saja kata orang setempat, hal itu merupkan kejadian biasa saja, sudah sering terjadi, jadi saya anggap ya biasa saja," katanya.
Ustaz Abror mengatakan bahwa kejadian tsunami tersebut merupakan pelajaran berharga bagi dirinya. Bahwa di atas sana ada Tuhan yang Maha Kuasa. Selain itu menurutnya bahwa apa yang manusia miliki di dunia ini hanyalah sementara. Oleh karena itu ia berpesan bahwa dalam menjalani kehidupan jangan terlalu fokus pada duniawi saja, melainkan harus ingat pada kehidupan di akhirat.
"Kita tidak ada yang tahu anak saya yang sangat saya cintai, saya belai setiap hari kemudian meninggal, begitu juga istri saya. Mobil saya yang saya lap tiap hari kemudian sekarang udah menyangkut di pohon, jadi semua ini sementara," pungkasnya.
Masih Trauma
Ustaz Abror salah sorang penyintas Tsunami yang menerjang kawasan pantai Selat Sunda pada Sabtu lalu (22/12/2018) mengaku saat ini masih trauma. Ia sering tiba tiba terbangun dari tidunya apabila mendengar sesuatu yang gaduh.
"Psikologis saya terganggu, saya kagetan, saya tidur mendengar berisisik saya bangun," katanya.
Menurutnya selalu muncul rasa takut apabila ada suara gaduh seperti bunyi seng dan lainnya. Hal itu diakibatkan suara gemuruh air laut yang menerjang penginapannya.
Begitu pula dengan kondisi psikologis kedua anaknya yang selamat dari terjangan tsunami tersebut. Oleh karena itu hingga saat ini ia tidak memberitahu bahwa istrinya dan ibu dari anak-anaknya itu telah meninggal dunia dan dimakamkan.
"Anak saya belum tahu yang paling besar, ibunya sudah meninggal, menunggu dia pulih. Jangankan anak-anak, saya saja yang dewasa tergangu psikologisnya," tutur Ustaz Abror.
Ia berharap ke dua anaknya segera pulih. Ia juga berharap korban tsunami lainnya yang hilang dapat segera diketemukan.
"Semoga yang lain cepat pulih, dan yang hilang dapat dketemukan,"pungkasnya.