Pelajaran dari Tsunami Selat Sunda, Ini yang Sebaiknya Dilakukan Pemerintah
Ketua Umum PII Heru Dewanto, ada beberapa rekomendasi terkait bencana tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menyampaikan rasa duka yang mendalam kepada keluarga korban tsunami di Banten dan Lampung.
Ketua Umum PII Heru Dewanto, ada beberapa rekomendasi terkait bencana tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung. Rekomendasi ini bertujuan untuk penanganan bencana serupa di Indonesia di masa depan.
Menurutnya, pemerintah perlu membangun sistem Peringatan Dini Tsunami tidak hanya yang disebabkan gempa tektonik (seismik) tapi juga gempa non tektonik seperti gempa vulkanik yg terjadi di selat Sunda.
Pembangunan ini meliputi subsistem di hulu (di tengah laut) berupa sistem sensor pemantau perubahan muka laut seperti buoy, kabel bawah laut, dan radar. Saat ini baru ada sistem peringatan dini di pantai, bukan di hulu.
Baca: Kisah Bocah Asal Bogor Selamat dari Tsunami di Anyer Meskipun Sempat Tergulung Karpet
“Pembangunan sistem hulu ini harus terintegrasi dengan rantai sistem peringatan dini hingga ke hilir, yaitu masyarakat di daerah yang akan berpotensi terpapar dan para pengelola fasilitas umum yang vital di daerah pesisir,” kata Heru, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/12/2018).
Di sisi lain, Heru juga menegaskan bahwa semua pihak harus mengkritisi sikap fatalisme yang sudah berakar di negeri ini dalam menyikapi potensi bencana.
"Yaitu sikap pandang untuk menyerahkan urusan bencana ke tangan sang nasib, akibatnya kita ogah berinvestasi agak besar utk memitigasi bencana. Padahal, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, dengan sistem mitigasi bencana dari hulu ke hilir, korban dan dampak bencana dapat diminimalisir bahkan dihindari. "
Sementara itu, Widjo Kongko, ahli tsunami PII yang juga Ketua Bidang Mitigasi Bencana PII memaparkan kondisi dan situasi tsunami yang terjadi di Banten dan Lampung adalah peristiwa fenomenal, memang ini kejadian jarang dan tidak lazim. Tsunami yang terjadi kali ini tidak didahului oleh gempa tektonik sehingga masyarakat di sekitar pantai tidak sadar untuk melakukan evakuasi mandiri.
“Sistem Peringatan Dini Tsunami yang dipicu oleh bukan gempa tektonik tidak ada, sehingga pihak otoritas atau Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika tidak dapat mengeluarkan peringatan dini ke masyarakat,” jelasnya.
Dia mengungkapkan kelemahan sistem operasional peringatan dini saat ini, yang hanya mengantisipasi tsunami akibat gempa tektonik. “Sistem Peringatan Dini Tsunami BMKG baru akan bekerja jika sumber tsunaminya adalah gempa tektonik. Sistem peringatan dini yang sumbernya bukan dari gempa tektonik seperti saat ini tidak tersedia di BMKG.”
Kejadian tsunami kali ini mengingatkan kembali pada hasil penelitian Dr. Widjo Kongko yang disampaikan pada seminar tertanggal 3 April 2018 lalu dalam paparannya bertajuk “Potensi Tsunami Jawa Barat” yang merupakan hasil dari sejumlah skenario pemodelan.
Widjo mengatakan bahwasanya PII siap untuk melakukan kajian perihal mitigasi kebencanaan khususnya yang disebabkan tsunami bersama dengan stakeholder lainnya.
Menurutnya lagi, pemerintah harus mendorong penegakan hukum atas regulasi terkait dengan kelola tata ruang pemanfaatan daerah pesisir berbasis kebencanaan, terutama penentuan Batas Sempadan Pantai sesuai dengan Perpres 51/2016.
“Perpres mengamanatkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota e dalam Perda (RTRW) Kabupaten/Kota, dimana penghitungan batas sempadan pantai utk daerah tertentu yang berpotensi tsunami juga harus memperhatikan perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami. Jadi tidak semua daerah garis sempadan pantainya sama 100 m” tutur Widjo.