Putusan DKPP yang Membatalkan Kuota Caleg 120 Persen Disesalkan
Menurut Ketua DPW PSI Aceh itu, Aceh punya aturan hukum penyelenggaraan pemilu yang berbeda dengan yang berlaku nasional.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyatakan kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang mengakomodir kouta caleg dari partai lokal di Aceh 120% adalah melanggar kode etik.
"Itu artinya, DKPP menganggap kebijakan KPU dan KIP melanggar peraturan perundang-undang yang berlaku," kata Kamaruddin, SH, Juru Bicara PSI Bidang Hukum Minggu (6/1/2018) kemarin.
Menurut Kamaruddin, keputusan DKPP itu berpontensi merugikan partai lokal di Aceh. Sebab, putusan itu dapat mengancam caleg dari partai lokal yang telah mengajukan caleg sesuai kuota 120%.
"Bisa saja ketika caleg yang masuk 120% memenangkan kursi parlemen di Aceh akan terancam di-MK-kan atau dibatalkan oleh MK. Maka dari itu partai politik lokal di Aceh harus bersatu menyikapi serius putusan DKPP, karena hal ini merupakan kekhususan Aceh,” kata Kamaruddin yang juga dikenal sebagai Pengacara Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) itu.
Menurut Kamaruddin, DKPP memang tidak secara langsung membatalkan putusan KPU. Namun, menyebut KPU melanggar kode etik dalam hal memutuskan kuota caleg 120% di Aceh, bisa saja setelah itu KPU mencabut PKPU 120% Caleg di Aceh yang dianggap melanggar kode etik oleh DKPP dan dengan sendirinya kuota caleg 120% dibatalkan.
Dijelaskan, utusan dan pertimbangan DKPP itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menggugat setelah penetapan hasil perolehan suara pemilu 2019 nantinya. Jika itu terjadi, bisa saja menjegal para caleg quota 120% yang terpilih nantinya.
Seperti diketahui, dari 20 partai peserta pemilu 2019, 4 diantaranya adalah partai lokal di Aceh. Menurut Ketua DPW PSI Aceh itu, Aceh punya aturan hukum penyelenggaraan pemilu yang berbeda dengan yang berlaku nasional.
Payung hukum dimaksud adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun.
Dalam UUPA disebutkan, penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh diselenggarakan berdasarkan Qanun Aceh. Sedangkan Qanun Nomor 3 Tahun 2008, dalam Pasal 17 menyebutkan, Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Baca: Jadi Lawan Jokowi dan Prabowo, Kaos Nurhadi Ber-hastag Smackqueenyaqueen Laris Manis
Karena, aturan yang berlaku nasional seperti disebutkan dalam pasal 244 UU Nomor 7 Tahun 2017 dimana setiap partai hanya bisa mengajukan calegnya 100 persen dari jumlah kursi di parlemen, tidak bisa diterapkan di Aceh.
“Mestinya KPU RI bisa melihat kekhususan Aceh yang sudah berjalan selama ini, dimana setiap partai politik lokal di Aceh harus diberikan kekhususan sebagaimana diatur di dalam UUPA dan Qanun penyelenggaraan pemilu di Aceh,” katanya lagi .
Masalah ini, imbuhnya mengulangi kejadian serupa tahun 2013, menjelang pemilu legislatif 2014. Lewat lobi-lobi, KPU Pusat akhirnya setuju Caleg Aceh 120 persen dari jumlah kursi.
"Jika semua undang-undang nasional diberlakukan untuk Aceh, lalu apa gunanya UUPA yang telah mengatur kekhususan,” kata Kamaruddin.
Baca: Politikus Gerindra Asal Aceh Pertanyakan Sanksi Bagi Capres yang Tidak Lulus Tes Baca Al Quran
Kamaruddin mengingatkan Gubernur Aceh Dan DPR Aceh jangan berdiam diri. “Harus bertindak, bagaimanpun putusan DKPP berpotensi merenggut hak konstitusional Caleg 120% partai politik lokal," pungkas Kamaruddin.