Eni Saragih Akui Ada Aliran Dana dari Johannes Budisutrisno untuk Biaya Munaslub Golkar 2017
Eni Maulani Saragih, terdakwa penerima suap proyek PLTU MT RIAU-1, membenarkan ada aliran uang dari pengusaha Johanes Budisutrisno
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eni Saragih, terdakwa penerima suap proyek PLTU MT RIAU-1, membenarkan ada aliran uang dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar Tahun 2017.
Anggota Komisi VII DPR RI tersebut menilai pemberian uang dari pengusaha membiayai Munaslub Partai Golkar merupakan hal biasa.
"Itu yang mungkin kalau Munaslub itu untuk kegiatan partai. Yang sebenarnya yang saya pahami waktu itu saya bisa meminta kepada pengusaha untuk menyumbang partai. Jadi bukan terkait dengan PLTU sebenarnya," kata Eni, di Sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Baca: Ayah Kandung Irish Bella Bocorkan Tanggal Penikahan Ammar Zoni dan Anaknya
Menurut dia, pemberian uang dari pengusaha kepada partai politik sebagai sesuatu yang wajar. Namun, pada saat itu, dia mengaku, tidak menyadari posisi sebagai wakil rakyat.
"Yang saya pahami itu pengusaha kalau mau nyumbang partai apapun kegiatan sosial saya pikir masih wajar. Saya lupa. (Anggota,-red) DPR kadang mungkin harusnya ya harus lihat dulu," kata dia.
Namun, dia meminta, supaya sumbangan itu tidak disangkutpautkan kepada Idrus Marham.
"Saya kira waktu itu pengusaha bisa menyumbang untuk partai, tetapi bukan berarti sumbangan itu kami kaitkan ke pak Idrus, bahwa itu untuk kegiatan partai," tambahnya.
Sebelumnya, Mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, mempunyai keinginan menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto.
Untuk itu, dia meminta, kepada Eni Maulani Saragih, selaku bendahara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar untuk meminta uang sejumlah USD 2.500.000 kepada Johanes Budisutrisno Kotjo untuk keperluan Munaslub Partai Golkar Tahun 2017.
Baca: Sikapi Pidato Prabowo, Istana: Mandat Utama BUMN Pelayanan Publik, Bukan Semata Mendorong Laba
Pada saat itu, Idrus Marham mendapatkan kepercayaan sebagai penanggungjawab Munaslub.
"Dikarenakan terdakwa berkeinginan untuk menjadi pengganti antar waktu Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto yang masih memiliki sisa jabatan selama 2 (dua) tahun, yang selanjutnya disanggupi oleh Eni Saragih," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Selanjutnya, pada 25 November 2017, Eni mengirimkan pesan melalui aplikasi WhatsApp yang pada pokoknya Idrus Marham dan Eni meminta uang sejumlah USD 3.000.000 dan SGD 400.000 kepada Johanes Budisutrisno Kotjo.
Menindaklanjuti WA tersebut, pada tanggal 15 Desember 2017, terdakwa dan Eni melakukan ertemuan dengan Johanes Budisutrisni di kantornya di Graha BIP Jakarta.
"Dalam pertemuan itu Johanes menyampaikan kepada terdakwa terkait adanya fee sebesar 2,5 % yang nantinya akan dibagi kepada Eni jika proyek PLTU MT RIAU-1 berhasil terlaksana," kata JPU pada KPK.
Selanjutnya, terkait fee yang dijanjikan oleh Johanes sebelumnya, Eni meminta sejumlah uang kepada Johanes untuk kepentingan Munaslub Partai Golkar dan terdakwa juga meminta agar Johanes mau membantu. Selanjutnya, permintaan terdakwa dan Eni disanggupi Johanes.
"Atas permintaan terdakwa dan Eni, pada 18 Desember 2017, Johanes memerintahkan Audrey Ratna Justianty selaku sekretaris pribadinya untuk memberikan uang dalam mata uang rupiah sejumlah Rp 2 Miliar kepada terdakwa dan Eni melalui Tahta Maharaya di kantor Johanes Budisutrisno di Graha BIP Jakarta," tambah JPU pada KPK.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Politisi Partai Golkar itu bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan sesuatu, beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan terlanjut, menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah berupa uang secara bertaha yang seluruhnya berjumlah Rp 2,25 Miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo," kata JPU pada KPK, Selasa (15/1/2019).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan
PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan,
penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.