Respon Rencana Pembebasan Baasyir, ICJR Minta Pemerintah Tinjau Ulang Hukuman Mati
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, menunggu langkah kemanusiaan pemerintah lainnya untuk pelaku tindak pidana
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo merencanakan pembebasan bersyarat kepada Ustaz Abu Bakar Baasyir, narapidana kasus terorisme. Alasannya demi kemanusiaan.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari pemerintah terhadap para pelaku tindak pidana.
Pada saat ini, menurut dia, terdapat 51 orang terpidana mati menunggu pengubahan pemidanaan dengan masa tunggu di atas 10 tahun. Selain itu, kata dia, pemberian amnesti untuk korban dikriminalisasi dan pertimbangan grasi terpidana mati kasus narkotika.
"Jika presiden menghormati nilai kemanusiaan ini, maka presiden harus mengubah pidana mati ke-51 orang tersebut menjadi pidana seumur hidup ataupun pidana maksimal 20 tahun penjara," kata Anggara, Minggu (20/1/2019).
Baca: Tyas Mirasih Belum Tahu Kabar Dirinya Akan Dilaporkan ke Polisi Atas Tuduhan Eksploitasi Anak
Dia menegaskan, masukkan seseorang dalam daftar tunggu pidana mati terlalu lama dengan ketidakpastian merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara.
Berdasarkan data yang diolah ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan, sampai dengan Oktober 2018, terdapat 219 orang dalam daftar tunggu pidana mati, dengan hitungan masa tunggu sampai dengan 1 Desember 2018.
Terdapat 51 orang dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan yang mempengaruhi kondisi psikologis. Bahkan 21 orang di antara telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun.
Baca: KPU Tak Mau Disalahkan Jika Pasangan Capres-Cawapers Kurang Mampu Jelaskan Isu-isu Utama
Selain itu, pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dan Meiliana, mereka yang dinilai mengalami kriminalisasi. Baiq Nuril, korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE dan harus berada di bawah bayang-bayang pidana 6 bulan penjara.
Sedangkan, kasus Meliana juga harus diperhatikan oleh presiden, lagi-lagi pasal tentang penodaan agama menyerang kelompok agama minoritas. Hal ini terjadi karena praktik penegakkan hukum yang diskriminatif dalam Pasal 156a KUHP.
"Presiden dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya harus juga menginisiasi untuk dilakukan perubahan terhadap rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama," kata dia.
Terakhir, presiden harus secara seksama mempertimbangkan grasi. Khusus untuk terpidana mati kasus narkotika, Presiden Joko Widodo telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan.
Berdasarkan catatan ICJR pada 2016 dan 2017, presiden menolak seluruh permohonan grasi untuk terpidana mati kasus narkotika, berdasarkan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015.
Melalui putusan itu, dia menjelaskan, MK mengisyaratkan dalam hal mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai grasi, Presiden terikat pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Grasi
Pasal ini telah jelas memerintahkan pertimbangan yang diberikan presiden adalah pertimbangan yang layak, dengan melakukan pemeriksaan secara mendalam, tidak secara buta menolak permohonan kasus tertent secara umum.
"Secara filosofis, grasi memang lebih bersifat kemanusiaan karena merupakan bentuk belas kasih atau pengampunan yang diberikan kepala negara kepada seorang terpidana," kata dia.
Sehingga pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan presiden.
Dia menambahkan, dalam kasus terpidana mati perempuan kasus narkotika jelas, perempuan kerap menjadi korban perdagangan orang lewat penipuan dan penyalahgunaan relasi kuasa sindikat narkotika.
"Harusnya Presiden memperhatikan aspek ini," tambahnya.