Abu Bakar Baasyir Dibebaskan Jokowi, Terpidana Mati juga Ingin Dibebaskan
Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengindikasikan ada unsur politik atas rencana pemerintah membebaskan terpidana terorisme, Abu Bakar Baasyir
Editor: Yulis Sulistyawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan mengindikasikan ada unsur politik atas rencana pemerintah membebaskan terpidana terorisme, Abu Bakar Baasyir secara bersyarat.
"Untuk kasus Abu Bakar Baasyir ini memerlukan waktu sangat lama dan intervensi Yusril Ihza Mahendra. Bahkan pembebasan Ba’asyir terjadi di waktu-waktu menjelang pemilihan umum," kata Ricky Gunawan.
Ricky Gunawan melihat potensi sangat kecil terhadap kemungkinan pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi - Jusuf Kalla mengurangi masa hukuman, ataupun membebaskan terpidana lain (termasuk terpidana mati), yang sudah lanjut usia.
Namun, terlepas dari kontroversi pembebasan Abu Bakar Baasyir, LBH Pers meminta, pemerintah agar mengkaji status terpidana lainnya, termasuk terpidana mati, yang sudah berusia tua dan mungkin sakit-sakitan, agar dapat juga segera dibebaskan.
Baca: JK, Maruf Amin hingga Yusril Satu Kata untuk Baasyir Dibebaskan Meski Australia Keberatan
Menurut Ricky Gunawan, pemerintah dapat membentuk suatu peraturan panduan yang mengikat secara hukum tentang usia narapidana.
"Peraturan semacam ini akan membuat hal yang sekarang ini diterima Baasyir dapat pula diterima narapidana lain yang profilnya jauh dari sorot media," kata Ricky Gunawan.
Direktur LBH Masyarakat ini menjelaskan, pengaturan usia narapidana penting tidak hanya dalam urusan hak asasi manusia namun juga baik sebagai bentuk tertib administrasi keadilan.
Selain itu, kata Ricky Gunawan, peraturan tersebut juga penting bagi pemerintah menepis anggapan pembebasan Abu Bakar Baasyir ini hanyalah demi memenangkan demografi tertentu pada pemilihan umum.
Baca: Jokowi Bebaskan Abu Bakar Baasyir, Jerinx SID Kecewa: Prabowo Anda Sudutkan Karena Bela Ratna
"Preseden ini sesungguhnya sangat baik karena membuka ruang bagi terpidana-terpidana lain yang usianya juga sudah uzur untuk mendapatkan hal yang serupa dari Presiden," ujar Ricky Gunawan.
Terpidana Mati
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari pemerintah terhadap para pelaku tindak pidana.
Pada saat ini, menurut dia, terdapat 51 orang terpidana mati menunggu pengubahan pemidanaan dengan masa tunggu di atas 10 tahun.
Selain itu, kata dia, pemberian amnesti untuk korban dikriminalisasi dan pertimbangan grasi terpidana mati kasus narkotika.
"Jika presiden menghormati nilai kemanusiaan ini, maka presiden harus mengubah pidana mati ke-51 orang tersebut menjadi pidana seumur hidup ataupun pidana maksimal 20 tahun penjara," kata Anggara.
Anggara menegaskan, masukkan seseorang dalam daftar tunggu pidana mati terlalu lama dengan ketidakpastian merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara.
Baca: Abdul Rohim Berharap Selasa atau Rabu Ayahnya, Abu Bakar Baasyir Hirup Udara Bebas
Berdasarkan data yang diolah ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan sampai dengan Oktober 2018, terdapat 219 orang dalam daftar tunggu pidana mati, dengan hitungan masa tunggu sampai dengan 1 Desember 2018.
Terdapat 51 orang dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan yang mempengaruhi kondisi psikologis.
Bahkan 21 orang di antara telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun.
Selain itu, pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dan Meiliana, mereka yang dinilai mengalami kriminalisasi. Baiq Nuril, korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE dan harus berada di bawah bayang-bayang pidana 6 bulan penjara.
Sedangkan, kasus Meliana juga harus diperhatikan oleh presiden, lagi-lagi pasal tentang penodaan agama menyerang kelompok agama minoritas.
Baca: Fadli Zon Nilai Pembebasan Abu Bakar Baasyir Manuver Politik Jokowi Raih Simpati Umat Islam
Hal ini terjadi karena praktik penegakkan hukum yang diskriminatif dalam Pasal 156a KUHP.
"Presiden dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya harus juga menginisiasi untuk dilakukan perubahan terhadap rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama," kata Anggara.
Terakhir, presiden harus secara seksama mempertimbangkan grasi.
Khusus untuk terpidana mati kasus narkotika, Presiden Joko Widodo telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan.
Berdasarkan catatan ICJR pada 2016 dan 2017, presiden menolak seluruh permohonan grasi untuk terpidana mati kasus narkotika, berdasarkan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015.
Melalui putusan itu, dia menjelaskan, MK mengisyaratkan dalam hal mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai grasi, Presiden terikat pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Grasi.
Baca: Baasyir Bebas, Jubir BPN : Publik Bisa Menilai Ada Kaitannya dengan Politik
Pasal ini telah jelas memerintahkan pertimbangan yang diberikan presiden adalah pertimbangan yang layak, dengan melakukan pemeriksaan secara mendalam, tidak secara buta menolak permohonan kasus tertent secara umum.
"Secara filosofis, grasi memang lebih bersifat kemanusiaan karena merupakan bentuk belas kasih atau pengampunan yang diberikan kepala negara kepada seorang terpidana," kata Anggara.
Sehingga pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan presiden.
Anggara menambahkan, dalam kasus terpidana mati perempuan kasus narkotika jelas, perempuan kerap menjadi korban perdagangan orang lewat penipuan dan penyalahgunaan relasi kuasa sindikat narkotika.
"Harusnya Presiden memperhatikan aspek ini," tambahnya.
Baca: 4 Fakta Terbaru Abu Bakar Baasyir Bebas, Tuai Protes hingga Isu Politik dan Kata Maruf Amin
Apresiasi dari MUI
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa'adi mengapresiasi upaya Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan untuk membebaskan ustaz Abubakar Baasyir dari tahanan tanpa syarat.
Menurut Zainul Tauhid, upaya itu merupakan langkah hukum yang sangat bijak dan mulia.
"Usulan pembebasan ustaz Abubakar Baasyir pernah disampaikan Ketua Umum MUI Bapak Kiai Ma'ruf Amin pada awal 2018 lalu dengan pertimbangan kesehatan dan kemanusiaan," kata Zainut Tauhid.
Zainul Tauhid meyakini setelah melalui proses pertimbangan yang panjang akhirnya presiden memutuskan untuk segera membebaskan Ustaz Abubakar Baasyir dalam waktu dekat ini.
Atas upaya itu, dia mengucapkan syukur dengan keputusan itu. Dia menilai, dibebaskannya Ustaz Abubakar Baasyir menunjukkan pemerintah menjunjung tinggi prinsip perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam menangani masalah terorisme.
Baca: Abdul Rohim Berharap Selasa atau Rabu Ayahnya, Abu Bakar Baasyir Hirup Udara Bebas
Selain itu, kata dia, pemerintah menghormati harkat martabat kemanusiaan sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
"MUI mengimbau seluruh masyarakat Indonesia tidak mengembangkan asumsi dan dugaan lain terkait dengan pembebasan, karena hal itu dapat mengaburkan esensi hukum itu sendiri yaitu netral dan berpihak kepada nilai kemanusiaan dan keadilan," kata dia.
Di kesempatan itu, Zainul Tauhid mengajak, masyarakat untuk terus meningkatkan kewaspadaannya terhadap bahaya terorisme, karena terorisme tidak pernah mati dan terus menjadi ancaman bagi kemanusiaan.
"Bukan saja ancaman terhadap keselamatan dan keutuhan bangsa Indonesia tetapi juga ancaman terhadap keselamatan dunia," tambahnya.
(Tribun Network/glery lazuardi/denis destriawan)