Soal Kasus Pencalegan OSO, KPU: Siapa Sebenarnya yang Jadi Pembangkang Konstitusi?
KPU menyatakan akan tetap berpegang teguh pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 30/PUU-XVI/2018 soal perkara pencalonan OSO.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyebut perkara putusan terkait pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota DPD RI periode 2019-2024 sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
MA berpendapat, KPU RI sebagai lembaga terlapor harus secepatnya melaksanakan putusan tersebut. Jika tidak, berarti sama saja KPU sudah melakukan perbuatan melawan hukum.
Menanggapi hal tersebut, komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari menyatakan pihaknya tidak terpengaruh atas pernyataan MA tersebut.
Pihaknya akan tetap berpegang teguh pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 30/PUU-XVI/2018 soal perkara pencalonan OSO. Yang berisi, calon anggota DPD RI dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
"Monggo itu kata Mahkamah Agung. Kalau KPU tidak ikuti putusan MK, malah KPU nanti bisa disebut sebagai pembangkang konstitusi," ujar Hasyim di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/4/2019).
Hasyim balik bertanya, bila ada pihak yang enggan mematuhi putusan MK maka siapa sebenarnya yang menjadi pembangkang konstitusi.
Baca: Berikan Amplop ke Ulama Lewat Rekaman Video, Menteri Luhut Dilaporkan ke Bawaslu
"Sekarang, itu kan bisa dijadikan ukuran. Sebenarnya siapa yang pembangkang konstitusi?," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, Supandi, menegaskan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota DPD RI periode 2019-2024 sudah berkekuatan hukum tetap.
Baca: Seorang Menteri Pernah Ajak Vanessa Angel Dinner Mimik-mimik Cantik Mimican, Apa Maksudnya?
Sehingga, putusan itu harus segera dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Jika tidak, maka ketua dan komisioner lembaga penyelenggara pesta demokrasi rakyat itu masuk dalam kategori melakukan perbuatan melawan hukum.
"Kalau ada pejabat sudah diputus pengadilan, tidak mau melaksanakan. Apa artinya? Ini pejabat dalam posisi melakukan perbuatan melanggar hukum," kata Supandi, kepada wartawan, ditemui di Gedung MA, Jumat (5/4/2019).
Baca: Kasus Teman Makan Teman Terbongkar di Mojokerto: Istri Berhubungan Intim dengan Sahabat Suami
Menurut dia, pejabat yang tidak melaksanakan putusan berkekuatan hukum tetap, maka dapat dikualifikasikan sebagai melawan perintah jabatan. Mereka seharusnya dilengserkan atau dibebastugaskan.
"Artinya, pejabat demikian harus dilengserkan atau dinonjobkan," jelas dia.
Dia mengatakan bila pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakannya, berarti sama saja mempertahankan ego kepentingan pribadi.
"Kalau tidak melaksanakan berarti mempertahankan kepentingan pribadi. Senang atau tidak senang hukum itu wajib dilaksanakan," ujar Supandi.