Banyak Petugas Pemilu Jadi Korban, Demokrat Minta Negara Harus Tanggung Jawab dan Tak Abai
Hinca Panjaitan mengatakan, negara tidak boleh abai dan harus bertanggung jawab atas kerja keras mereka selama ini
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Panjaitan setuju dengan rencana pemberian santunan kepada para petugas penyelenggara Pemilu yang meninggal ataupun jatuh sakit.
Hinca Panjaitan mengatakan, negara tidak boleh abai dan harus bertanggung jawab atas kerja keras mereka selama ini.
Baca: Santunan untuk KPPS, Menteri Sri Mulyani: Kami Bisa Mengakomodasi
Publik lupa bahwa dibalik penyelenggaraan hari pencoblosan tanggal 17 April kemarin, ada sosok yang bekerja jauh lebih keras dibanding peserta Pemilu itu sendiri.
"Negara harus bertanggung jawab karena dia adalah pejuang-pejuang demokrasi yang bekerja siang dan malam. Orang lupa seolah olah peserta kampanye ini yang bekerja keras, tapi masih ada orang-orang di balik ini semua yang bekerja jauh lebih keras," ungkap Hinca Panjaitan di KPU RI, Jakarta Pusat, Selasa (23/4/2019).
Hinca Panjaitan mewakili Partai Demokrat, setuju usulan tersebut dimana saat ini tengah dalam pembicaraan bersama kementerian keuangan.
"Saya setuju dengan usul KPU untuk memberi santunan yang sekarang sedang dibicarakan dengan kementrian keuangan, dan itu harus dilakukan. Negara tidak boleh abai," ujar dia.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI usulkan memberi santunan sebesar Rp30-36 juta bagi para petugas penyelenggara Pemilu yang meninggal dunia saat menjalankan tugasnya.
Sedangkan bagi mereka yang mendapatkan cacat fisik, KPU mengusulkan santunan sebesar Rp30 juta tergantung jenis musibah yang diderita.
Baca: Hari Ini KPU Bersama Kemenkeu Dijadwalkan Bahas Santunan untuk 132 Petugas Pemilu yang Meninggal
Sementara bagi penyelenggara Pemilu yang mendapatkan luka atau trauma fisik, bantuan santunan maksimal Rp16 juta.
"Jadi ini akan dibahas bersama Kemenkeu termasuk mekanisme pemberiannya. Termasuk mekanisme penyediaan anggarannya. Karena anggaran KPU tidak ada yang berbunyi nomenklaturnya santunan. Ini akan diperkenankan diambil dari pos anggaran mana yang KPU bisa melakukan penghematan dan anggarannya belum dipakai," kata Ketua KPU RI Arief Budiman.
Pemerintah akan Beri Santunan
Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan pemerintah akan memberi santunan kepada 90 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia, saat melaksanakan tugasnya menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak, 17 April 2019 lalu.
Sri Mulyani menilai penting pemberian santunan bagi para korban yang menjadi petugas Pemilu.
“Mengenai usulan untuk mendapatkan tunjangan, saya sudah mengecek dan kemungkinan kita akan bisa mengakomodasi melalui standar biaya yang tidak biasa di dalam konteks ini,” ujar Sri Mulyani kepada wartawan usai mengikuti Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4/2019), seperti dilansir dari Laman Setkab.
Sri Mulyani pun menyampaikan ucapan belasungkawa kepada para petugas Pemilu yang meninggal saat melaksanakan yang sangat penting, menjaga Pemilu secara dil, aman, dan akunbtabel.
Menkeu berjanji akan melihat berapa kebutuhan dan bagaimana memutuskan memberikan santunan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada 91 orang petugas KPPS meninggal, dan 374 orang sakit yang tersebar di 19 provinsi.
“Sakitnya bervariasi,” kata Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Senin (22/4/2019).
KPU berencana bertemu dengan Kementerian Keuangan untuk membahas kemungkinan pemberian santunan kepada para petugas KPPS yang meninggal dalam melaksanakan tugasnya itu.
“KPU mengusulkan besaran santunan untuk anggota KPPS yang meninggal dunia Rp30-36 juta, sementara yang sakit hingga cacat maksimal Rp30 juta, dan untuk yang luka besaran santunan maksimal Rp16juta,” jelas Arief.
KPU Evaluasi Pemilu Serentak
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.
Evaluasi dilakukan menyusul banyak korban meninggal dunia, khususnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sejumlah daerah karena faktor kelelahan.
Baca: Golkar Sebut KPU Beri Porsi Lebih Banyak kepada Pilpres ketimbang Pileg
"Kami perlu informasikan terkait dengan jumlah sementara sanpai pukul 17.49 WIB, petugas penyelenggara pemilu yang tertimpa musibah itu sebanyak 91 orang meninggal dunia. Kemudian 374 orang sakit," ujar Ketua KPU, Arief Budiman dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2019).
Selain petugas KPPS, pelaksanaan rangkaian proses Pemilu Serentak 2019 juga menelan korban dari institusi lain.
Dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebanyak 26 orang dan dari kepolisian yang mengawal logistik dan mengamankan TPS sebanyak 15 anggota.
Selain itu, masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang tersebar di hampir seluruh provinsi.
Ketua KPU, Arief Budiman mengaku tengah menyusun pembahasan internal terkait pemberian santunan kepada para petugas yang tertimpa musibah tersebut.
KPU sedang memperhitungkan berbagai macam ketentuan yang selama ini diberlakukan. Misalnya terkait regulasi asuransi di BPJS.
Bahkan, Arief Budiman mengungkap KPU sudah merencanakan untuk membawa persoalan dan biaya santunan ini ke Kementerian Keuangan.
Rencananya, pertemuan itu akan berlangsung besok di Kementerian Keuangan.
"KPU sudah membahas secara internal terkait dengan santunan yang akan diberikan. Besok merencanakan akan melakukan pertemuan dengan Kementerian Keuangan," ujar Arif Budiman di Kantor KPU, Jakarta, Senin (22/4/2019).
Afifuddin mengungkap, Bawaslu sebelumnya sudah mengajukan pengadaan asuransi bagi para pengawas. Namun permintaan tersebut tak kunjung disetujui.
Atas hal itu, Bawaslu berencana akan mengikuti langkah KPU untuk menyantuni para korban yang meninggal dalam tugasnya.
"Kalau dari sisi kelembagaan, kami sudah menyiapkan dan Pak Sekjen sudah menyatakan alokasinya yang sifatnya santunan kepada jajaran kita," kata Afifuddin.
Ia mewakili lembaganya turut mengungkap rasa belasungkawa terhadap panwaslu yang meninggal dunia.
Baca: Sekjen Partai Demokrat Datangi KPU Lihat Langsung Update Situng
Mereka sudah memberikan waktu dan tenaganya untuk mengawal pesta demokrasi ini, meski upah yang didapat tidak begitu seberapa.
"Yang mereka dapatkan tidak seberapa dibandingkan pengorbanan dan waktu yang dia berikan untuk mengawal pemilu ini. Ini menjadi perhatian kita semua untuk memperhatikan kesejahteraan termasuk keselamatan dari proses demokrasi yang luar biasa mengharu biru ini," tutur Afifuddin.
Polisi Kelelahan
Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengungkapkan, sebagian besar anggota Polri yang bertugas mengamankan pemilu itu diduga wafat karena kelelahan.
Menurut Brigjen Pol Dedi Prasetyo, 15 orang itu meninggal di sejumlah wilayah di Tanah Air.
Baca: UPDATE Jumlah Petugas Pemilu 2019 yang Meninggal Dunia: Mulai KPPS, Panwaslu hingga Polisi
"Informasi dari SDM, anggota yang meninggal ada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, NTT, NTB, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan di wilayah hukum Polda Metro Jaya," ucap Dedi Prasetyo.
Dia mengatakan, anggota yang meninggal saat Pemilu 2019 sebagian besar berada di luar Jawa.
Berdasarkan catatan Polri, yang paling banyak berada di NTT, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi Selatan.
"Mungkin kondisi kesehatannya dan memang tuntutan tugas cukup banyak karena kondisi tiap orang berbeda. Demikian juga kondisi geografis di TPS yang dijaga," kata Dedi Prasetyo.
Baca: PB PMII Beri Apresiasi kepada Penyelenggara Pemilu dan Kepolisian
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Keuangan Frans mengatakan pihaknya akan segera melakukan pembahasan mengenai besaran anggaran dengan pihak KPU.
"Kami akan melakukan pembahasan secepatnya mengenai pemberian santunan tersebut. Kemenkeu akan membahas dengan KPU berdasarkan usulan yang diajukan oleh KPU," kata Frans saat dihubungi.
Evaluasi 'Keserentakan'
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjabarkan, Pemilu Serentak dengan lima surat suara merupakan hal yang tidak logis.
Petugas banyak yang kelelahan bukan hanya pada saat proses penghitungan, tetapi juga proses pengisian administrasi.
Baca: Seorang Anggota KPPS Keguguran dan Seorang Linmas di Madiun Meninggal Dunia saat Tugas Pemilu
"Terlalu banyak dokumen yang harus diisi oleh petugas. Jadi memang lima surat suara ini tidak logis dan tidak ada dalam bayangan kami sebagai pemohon di Mahkamah Konstitusi," jelas Titi Anggraini.
Serentak yang dimaksud oleh koalisi masyarakat sipil, adalah Serentak Nasional dan Serentak Daerah.
Serentak nasional, artinya hanya tiga surat suara yang dicoblos, yakni, presiden dan wakil presiden, DPR RI dan DPD.
Serentak Daerah adalah pemilihan Kepala Daerah Provinsi dan Kabupeten/Kota serta DPRD tingkat I dan II.
"Jadi surat suara hanya tiga dan empat. Untuk serentak daerah dilakukan dua tahun setelah serentak nasional," urainya.
Tujuannya adalah pembagian tugas yang merata antara pusat dan daerah, serta kesinambungan jalannya pemerintahan eksekutif dan legislatif.
Bukan serentak yang saat ini tengah berjalan.
Baik Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi dan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf juga sepakat untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh atas pemilu saat ini.
Juru Bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily mengatakan hal ini perlu untuk mengurangi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
"Ini menjadi bagian dari evaluasi kita. Jangan sampai ini terjadi lagi," ujarnya.
Baca: Istri Anggota KPPS yang Meninggal di Solo Beberkan Suaminya Tidak Tidur 3 Hari Demi Lancarkan Pemilu
Sementara Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean mengatakan, seharusnya tidak perlu ada nyawa yang melayang atas Pemilu 2019.
"Harus ada perubahan. Harus ada kajian ulang soal ini," ujar Ferdinan Hutahaean. (tribun network/amriyono/coz)