Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Effendi Ghazali Pertimbangkan Masa Jabatan Presiden Satu Periode 7 Tahun Untuk Cegah 'Rematch'

Berdasarkan pengalaman dan sejarah, Pakar Komunikasi Politik, Effendi Ghazali, mengusulkan periode jabatan presiden satu kali untuk tujuh tahun.

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Effendi Ghazali Pertimbangkan Masa Jabatan Presiden Satu Periode  7 Tahun Untuk Cegah 'Rematch'
Tribunnews/HERUDIN
Akademisi, Effendi Ghazali menghadiri sidang putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2014). Dalam sidang itu, MK mengabulkan permohonan Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili Effendi Ghazali bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilakukan serentak namun dilaksanakan pada tahun 2019 karena waktu penyelenggaraan Pemilu 2014 yang sudah sangat dekat dan terjadwal. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Menyusul adanya putusan MK yang mengesahkan adanya Presidential Threshold di dalam UU Pemilu.

Geram 

Pemohon gugatan nomor 54/PUU-XVI/2018 di Mahkamah Konstitusi, Effendi Gazali sedari awal sidang sudah tampak bertentangan dengan hakim konstitusi.

Di awal sidang, dia sudah meminta sikap dari hakim atas surat yang dilayangkan sebelumnya.

Surat itu berisi agar pembacaan putusan untuk gugatannya tidak dibacakan secara bersamaan dengan lima gugatan lainnya tentang UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Kami tidak mau trauma kami kembali terulang seperti pada saat putusan MK sebelumnya tentang Pasal 222 undang-undang Pemilu," ucapnya saat sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/10/2018).

Kegeraman berlanjut usai mendengarkan putusan Hakim Konstitusi yang menolak seluruh dalil permohonannya. Dia menolak diwawancarai terlebih dahulu sebelum semua wartawan yang meliput di MK saat itu berkumpul semuanya.

Berita Rekomendasi

"Kumpul dulu semuanya, saya tidak akan bicara ini lagi dan tidak ada tanya jawab," kata dia sembari menunggu.

Baca: Kenapa Kamu Harus Pakai Hak Pilihmu di Pemilu Serentak 2019

Suaranya mulai meninggi ketika dirinya menjelaskan semua pertimbangan hakim konstitusi tidak masuk akal dan dinilai sudah melakukan pembohongan publik. Bahkan, tak segan dia melontarkan kata "sontoloyo" kepada hakim usai persidangan.

"Seluruh pertimbangan hakim enggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sotoloyo. Cocok dengan pernyataan presiden, telah dilakukan oleh hakim MK ini kebohongan publik dan sontoloyo," kata dia dengan suara meninggi.

Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra
Gedung Mahkamah Konstitusi, KOMPAS.COM/Sandro Gatra (KOMPAS.COM/Sandro Gatra)

Matanya masih terlihat memerah, bibirnya gemetar, jemari tangannya menunjuk ke arah wartawan. Dia menegaskan menolak bertanggung jawab atas kekacauan yang dinilai akan terjadi pada saat pemilu serentak 2019 mendatang. Pasalnya, dirinya sudah berupaya untuk mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.

"Kalau Pemilu serentak ini menjadi yang paling kacau, maka bukan salah saya Effendi Ghazali, tapi salah pembentuk undang-undang dan hakim MK," tegasnya.

Baca: Bos Ducati dan Legenda MotoGP Ini Sehati Soal Cara Taklukan Marc Marquez

Pakar Komunikasi Politik itu juga mengaku menyesal ketika dirinya sempat menjadi salah satu pemohon agar Pemilu di Indonesia menjadi serentak seperti saat ini.

"Pemilu serentak ini, dulu saya yang mengajukan. Dengan adanya presidential threshold seperti ini menyesatkan. Sebaiknya kembalikan lagi saja seperti Pemilu sebelumnya. DPR dulu kemudian presiden," tegasnya.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas