Effendi Ghazali Pertimbangkan Masa Jabatan Presiden Satu Periode 7 Tahun Untuk Cegah 'Rematch'
Berdasarkan pengalaman dan sejarah, Pakar Komunikasi Politik, Effendi Ghazali, mengusulkan periode jabatan presiden satu kali untuk tujuh tahun.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
"Lima tahun ke depan, bangsa kita ini akan terus berkelahi, terbelah, di sana sini ada penghadangan, kebohongan, kebencian karena ada PT tadi. Sehingga calonnya hanya tinggal dua dan yang luar biasa, karena pembentuk undang-undang dan hakim MK," tukasnya.
'Kematian' Demokrasi
Wasekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materiil ambang batas capres atau presidential threshold (PT) dalam UU Pemilu.
"Menurut hemat saya, putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi dan akal sehat," katanya saat dihubungi.
Dia menilai ke depan, hanya partai-partai besar saja yang punya peluang untuk dapatkan posisi Presiden. Sementara partai menengah apalagi partai kecil hanya akan jadi sekadar penggembira. "Partai baru lebih parah lagi, muncul sebentar selanjutnya bisa langsung hilang," lanjutnya.
Oleh karenanya kelak, partai-partai kecil, atau partai yang baru akan tersapu habis oleh sistem yang seperti ini.
"Pupus sudah harapan para pencinta demokrasi yangg agar MK bisa merevisi UU yang jelas-jelas telah bertentangan dengan prinsip demokrasi. Benteng terakhir konstitusi telah runtuh," tandasnya.
Politikus dari Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi, meyakini semua gugatan ambang batas presiden atau Presidential Treshold (PT) pasti ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Keyakinannya itu didasari bahwa PT sangat penting dalam konteks sistem demokrasi Indonesia. Ia melihat sistem demokrasi Indonesia berpijak di atas sistem presidensial multipartai.
"Sistem presidensial multipartai ini sendiri sudah sangat sukar dilaksanakan. Dalam praktek di negara lain, seperti di Amerika Latin, sistem presidensial selalu berantakan karena terjadi pertarungan antara legislatif dan eksekutif," ujar Teuku, Kamis (25/10/2018).
Dalam sistem presidensial, kata dia, tidak ada way out (jalan keluar) jika terjadi stuck antara eksekutif dan legislatif. Sementara dalam sistem parlemen ada jalan keluar yaitu dengan mekanisme mosi tidak percaya.
"Alhamdulillah, ini tidak terjadi di Indonesia, karena antara legislatif dan eksekutif Indonesia ada pembagian tugas yg tidak saling menegasi," imbuhnya.
Yang kedua, dalam sistem presidensial Indonesia ia menyebut tidak adanya koalisi permanen. Jika tidak ada koalisi permanen, maka berpotensi munculnya pemerintah yang tidak stabil.
Maka untuk mengatasi persoalan absen koalisi permanen ini, Teuku mengatakan Indonesia membentuk UU yang menetapkan PT cukup besar. Alasannya, agar pemerintah terjaga stabilitasnya.