Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Effendi Ghazali Selaku Pengusul Pemilu Serentak Mengaku Sedih Setiap Kali Ada Anggota KPPS Meninggal

Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Sugiyarto
zoom-in Effendi Ghazali Selaku Pengusul Pemilu Serentak Mengaku Sedih Setiap Kali Ada Anggota KPPS Meninggal
Tribunnews/JEPRIMA
Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali saat wawancara khusus dengan Tribun dikediamannya di kawasan Pinang Ranti, Jakarta Timur, Kamis (2/5/2019). Dalam kesempatan tersebut Effendi Ghazali yang juga merupakan pengaju pemilu serentak di Mahkamah Konstitusi mengajak kepada keluarga anggota KPPS yang meninggal mengajukan tuntutan dan pertanggungjawaban kepada seluruh pihak terkait. Tribunnews/Jeprima 

Effendi : Saya sangat berduka kepada keluarga yang telah ditinggalkan.

Dengan tidak mengurangi segala hormat, KPU juga telah melakukan simulasi di 300 TPS lebih dan tidak menemukan sedikitpun gejala kelelahan.

Bagaimana caranya menjelaskan simulasi yang memakai ilmu tertentu, metodologi tertentu dan tidak membahayakan sama sekali.

Tapi, kok tiba-tiba pada hari H banyak yang meninggal? Sampai ketua KPPS Sleman sampai gantung diri?

Tekanan apa yang didapatkan saat hari H yang berbeda dengan simulasi? Kok anda tidak bisa deteksi?

Kalau dijumlah semuanya 5.693.450 orang anggota KPPS. Perlu juga kita tanyakan kepada yang sehat.

Apakah mereka menjaga kesehatan yang baik, zikirnya baik, tidak terpengaruh pesan-pesan, atau apa?

Berita Rekomendasi

Ini harus jadi pelajaran ke depan. Jadi DPR tidak harus tinggal diam ini, harus ada jalan keluar.

Malah saya meminta kepada mahasiswa, aktivis, keluarga korban ayo tuntut siapa yang bertanggungjawab soal ini.

Hingga saat ini, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia usai bertugas di Pemilu 2019 sudah berjumlah 474 orang. TRIBUNNEWS.COM/IST
Hingga saat ini, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia usai bertugas di Pemilu 2019 sudah berjumlah 474 orang. TRIBUNNEWS.COM/IST (TRIBUNNEWS.COM/)

Kalau saya harus ikut diseret dan diperiksa, atau ada hukumannya, saya siap. 

Tribun : Siap dipidana?

Effendi : Jangan jadi ilmuwan pengecut, jangan jadi ilmuwan curang, ayo pertanggungjawabkan.

Walaupun kami, di kantor MK sudah bilang, ini pasti kacau. Refly Harun juga sudah bilang ini akan jadi pemilu terburuk.

Harusnya, kalau MK dengar, MK bisa panggil kami. "Kenapa ini bisa terjadi atau kenapa menolak lagi" misalnya. 

Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut.

Tribun : Tuntutan keluarga anggota KPPS ke Polisi?]

Effendi : Saya tidak tahu. Ke siapapun. Mereka berhak mengetahui siapa yang paling bertanggung jawab? 

Tribun : Tapi, mereka melamar sebagai KPPS?

Effendi : Nah itu. Tanya dulu. Kontrak dulu, asuransinya apa? Kerjanya berapa jam? Tanya dulu seperti melamar di perusahaan. Ini kan semuanya serba tidak jelas.

Tidak tahu apa-apanya. KPU juga tidak boleh begitu. Meski ini sukarela, bikin juga kontrak kerjanya.

Ada tidak fasilitas istirahat, makan, asuransi kalau sakit bagaimana?  

Lebih dari itu, kalau simulasinya baik, ah tapi kami tidak pernah dipanggil sih sama KPU. Panggil dong kami yang mengajukan.

Baca: Pasangan Bukan Suami Istri Kepergok Petugas Berada Dalam Satu Kamar

Jangan kami seolah dibuang dan seakan-akan oposisi dan mengakali sistem, atau bagaimana? Panggil kami, nanti kita diskusi.

Itu ada ilmunya, namanya perencanaan dan evaluasi program komunikasi.

Kalau simulasinya ada kelelahan atau penyakit, berarti harus ada mobil ambulance untuk setiap lima TPS misalnya, itu kan bisa sekali.

Tapi kan, aduuuuuhh. Saya sakit loh dengar ada yang meninggal begitu.

Tribun : Ada orang yang menyalahkan anda?

Effendi : Buya Syafii Ma'arif menyalahkan kami yang mengajukan Judicial Review, seakan-akan ada ruang hampa. Setelah JR, langsung Pemilu Serentak

Buya Syafii Maarif, guru bangsa loh menyalahkan kami. Seolah-olah tidak ada proses selanjutnya setelah putusan MK langsung masuk ke Pemilu.

Seakan tidak ada proses sosialisasi, tidak ada proses pembuatan undang-undang yang sampai molor. Konflik presidential threshold, itu loh.

Ada juga alumni Fisip UI menyalahkan kami dan bilang, jangan hanya cari ketenaran, cari duit. Itu saya paparkan kemudian.

Duitnya dari mana? Kami urunan dan itu Januari 2013 dan belum ada satupun calon presiden. Pak Jokowi itu masih jadi Gubernur DKI Jakarta. 

Tribun : Presidential Threshold ini kan sudah lama?

Effendi : Kami berpikir, ada juga loh presiden sebelumnya. Ini selalu ada presidential threshold yang semakin besar.

Padahal, pasalnya hanya calon presiden dan wakil presiden dipilih dari partai politik maupun gabungan partai politik.

Mungkin pendiri bangsa sudah ingin tidak ada perpecahan dan kami menambahkan itu karena ada media sosial. Amerika saja sudah begitu.

Baca: Ketika Ketua Umum PSI Tak Lolos Parlemen, Grace Natalie: Kami Sebenarnya Kalah Tapi Rasa Menang

Jangan pernah berpikir presiden Amerika cuma dua, itu keliru. Ada calon independen dari negara bagian ada empat dan semua menderita karena media sosial.

Tribun : Anda melihat, semua ini sebenarnya ada apa sih?

Effendi : Saya ingin melontarkan ini, tapi tidak ada niat provokatif. Bukannya ini manajemen isu ya?

Apakah 300 lebih yang meninggal ini untuk menutupi isu yang lain? Semoga ini tidak benar.
Kalaupun benar, yuk sama-sama kita bongkar. Jangan ada yang ditutup-tutupi dengan pemilu ini.

Buat jadi pelajaran untuk pembenahan ke depan. Jangan ada pemutar balikan fakta. Yuk, tuntut siapa yang harus bertanggungjawab.

Pengamat komunikasi politik, Effendi Ghazali saat menjadi narasumber dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne bertajuk
Pengamat komunikasi politik, Effendi Ghazali saat menjadi narasumber dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tvOne bertajuk "Babak Pertama Debat Capres 2019: Siapa yang Menang?", Selasa (22/1/2019). (Capture/YouTube/Indonesia Lawyers Club)

Tribun : Ada usulan untuk pembenahan?

Effendi : Ada beberapa. Pertama, parlementary threshold dinaikkan sampai 10 persen. Partai yang tersisa hanya tiga saja paling, tetapi presidential threshold harus tetap nol persen.

Buat apa? Supaya anak bangsa yang baik dan pintar ini tetap bisa terpilih. Partai yang masuk parlemen ini akan tersingkir dengan sendirinya.

Kedua, keserentakannya hanya di pencalonan. Pelaksanaan pemilu tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres. Sehingga tidak ada lagi oligarki kekuasaan, oligarki partai yang bermain.

Kemudian, kami sudah usul sejak 2015 agar Pemilu Serentak dibagi 2. Yaitu satu: Pemilu Nasional Serentak memilih: Presiden, DPR, DPD. Kedua: Pemilu Daerah Serentak memilih: Kepala Daerah, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2. Jarak di antaranya dua setengah tahun.

Bahkan ada juga usulan LSM lain, yakni pencalonannya yang serentak. Tapi pelaksanaan tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas