Effendi Ghazali Selaku Pengusul Pemilu Serentak Mengaku Sedih Setiap Kali Ada Anggota KPPS Meninggal
Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengaju gugatan Pemilu Serentak, Effendi Ghazali mengatakan siap dipidana jika memang pihaknya yang memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi atas meninggalnya 412 orang petugas KPPS.
"Kalau memang kami sebagai pengaju yang bertanggung jawab, kami siap, mau dipidana kek. Jangan jadi pengecut," jelas Effendi Ghazali saat wawancara dengan Tribun, Kamis (2/5/2019).
Saat ini menurutnya, ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan perbaikan untuk pemilu berikutnya.
Pertama, parlementary threshold dinaikkan sampai 10 persen.
Sehingga, partai yang tersisa hanya tiga maksimal, tetapi presidential threshold harus tetap nol persen.
"Buat apa? Supaya anak bangsa manapun yang terbaik bisa diajukan partai peserta pemilu menjadi capres. Nah kalau 3 atau 4 partai di parlemen tidak mengajukan capres terbaik, maka bisa tersingkir oleh partai baru yang mengajukan capres terbaik, karena Efek Ekor Jas," jelas Effendi Gazali.
Kedua, keserentakan pemilu ada di tataran di pencalonan. Sementara pelaksanaan pemilu tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres.
"Sehingga tidak ada lagi oligarki kekuasaan, oligarki partai yang bermain," urainya.
Selain itu juga, pihaknya pernah memberi usul sejak 2015 agar Pemilu Serentak dibagi dua. Yaitu satu: Pemilu Nasional Serentak memilih: Presiden, DPR, DPD. Kedua: Pemilu Daerah Serentak memilih: Kepala Daerah, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2. Jarak di antaranya dua setengah tahun.
"Bahkan ada juga usulan LSM lain, yakni pencalonannya yang serentak. Tapi pelaksanaan tetap seperti dulu. Pileg dulu baru pilpres," tukasnya.
Berikut ini kutipan wawancara Tribun dengan Effendi Ghazali.
Tribun : Apa sebenarnya alasan anda mengajukan permohonan Pemilu Serentak?
Effendi : Pada awalnya, kami maju dengan satu tim yang sangat kuat. Ada profesor ahli juga, yaitu Saldi Isra sekarang Hakim MK, ada Irman Putera Sidin ahli hukum tata negara, ada Didik Supriyanto dari Perludem dan Hamdi Muluk dari Psikologi Politik.
Ada saksi fakta, ketua adhoc MPR dulu Slamet Effendi Yusuf.