Sidang Praperadilan Romahumuziy, KPK: Seluruh Dalil Gugatan Romahurmuziy Keliru
Sebelumnya, Anggota Tim biro hukum KPK menjelaskan secara bergantian pokok-pokok jawaban dari pihak KPK atas gugatan yang diajukan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai seluruh dalil permohonan gugatan praperadilan tersangka kasus dugaan suap seleksi pejabat di lingkungan Kemenag tahun 2018 - 2019, Romahurmuziy, keliru dan meminta Hakim menolak gugatan tersebut.
Hal itu disampaikan Anggota Tim Biro Hukum KPK pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (7/5/2019).
"Dengan demikian, KPK berkesimpulan seluruh dalil pemohon (Romahurmuziy) keliru, sehingga sepatutnya praperadilan ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak diterima. Dalam proses persidangan praperadilan yang akan berjalan dalam beberapa hari ini KPK akan mengajukan bukti-bukti yang relevan mulai dari dokumen, keterangan saksi dan ahli," kata Anggota Tim Biro Hukum KPK.
Sebelumnya, Anggota Tim biro hukum KPK menjelaskan secara bergantian pokok-pokok jawaban dari pihak KPK atas gugatan yang diajukan oleh pemohon yakni Romahurmuziy.
Baca: Soal Temuan 2 Kardus Berisi Ribuan C1, BPN Bingung: Kok Tiba-tiba Diklaim Milik Seknas?
Baca: TRIBUNNEWSWIKI: Megawati Soekarnoputri
Pada pokoknya terdapat tujuh poin kekeliruan dalam gugatan praperadilan yang diajukan Romahurmuziy.
Pertama, KPK menilai sebagian poin permohonan praperadilan yang diajukan Romahurmuziy sudah masuk pokok perkara.
Kedua, KPK menilai Romahurmuziy keliru memahami tentang Rehabilitasi pada saat proses Penyidikan berjalan.
Menurut KPK, mengacu pada Pasal 97 KUHAP rehabilitasi bisa diminta jika diputus bebas atau lepas di pengadilan saat putusan berkekuatan hukum tetap atau dalam hal penangkapan atau penahanan jika perkara tidak diajukan ke pengadilan negeri.
Sementara saat ini proses Penyidikan sudah berjalan, dan jika seluruh tahapan dan kebutuhan Penyidikan selesai maka perkara akan dilimpahkan ke Penuntutan dan Pengadilan.
Ketiga, Romahurmuziy keliru memasukan Penyelidikan dalam Praperadilan karena mengacu pada Hukum Acara yang berlaku, proses Penyelidikan tidak masuk pada ruang lingkup praperadilan.
Itu karena KUHAP ataupun Putusan MK dan Perma 4 tahun 2016 mengatur ruang lingkup praperadilan secara limitatif yaitu pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Keempat, Romahurmuziy keliru memahami kewenangan KPK menangani perkara sebagaimana diatur di Pasal 11 UU KPK.
KPK memandang semestinya Romahurmuziy dapat memahami bahwa Pasal yang dikenakan terhadap Pemohon bukan Pasal tentang kerugian keuangan negara.
KPK juga memastikan tersangka Romahurmuziy yang diproses dalam kasus ini menjabat sebagai Anggota DPR-RI sehingga masuk sebagai kualifikasi Penyelenggara Negara.
Kelima, Romahurmuziy keliru mengatakan OTT dilakukan secara tidak sah dan KPK memastikan kegiatan tangkap tangan dilakukan mengacu pada Pasal 1 angka 19 KUHAP, dimana terdapat empat kondisi secara alternatif yang dapat disebut tertangkap tangan, yakni:
1. Pada waktu sedang terjadinya tindak pidana;
2. Segera sesudah tindak pidana terjadi;
3. Segera setelah diteriaki oleh khalayak ramai; atau
4. Apabila sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu
Sehingga, KPK memastikan kegiatan tangkap tangan yang dilakukan KPK tersebut sudah memenuhi aturan hukum acara yang berlaku.
Keenam, Romahurmuziy tidak dapat membedakan antara tugas "Penindakan" dengan tugas “Pencegahan” yang dilakukan KPK.
KPK menilai hal tersebut sering menjadi alasan berbagai pihak yang menggeser makna tugas Pencegahan KPK seolah-olah KPK harus memberikan informasi agar tidak jadi dilakukan tangkap tangan pada saat itu.
Padahal KPK melaksanakan tugas penanganan perkara, termasuk tangkap tangan mengacu pada KUHAP, UU Tipikor dan Pasal 6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Sementara tugas Pencegahan diatur pada Pasal 6 huruf d UU KPK, yang diperjelas di pasal 13 UU KPK, yaitu:
“Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap LHKPN;
b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi
e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.”
Keenam, proses penyidikan dilakukan setelah terdapat minimal dua alat bukti, termasuk bukti Penyadapan dan permintaan keterangan, serta bukti lain yang dilakukan dalam proses Penyelidikan.
Menurut KPK, bagian itu cukup sering dijadikan argumentasi pemohon praperadilan, yakni seolah-olah KPK harus lakukan Penyidikan terlebih dahulu barulah bisa menetapkan tersangka. Hal ini keliru dan telah cukup sering ditolak Hakim Praperadilan.
UU KPK bersifat lex specialis karena mengatur secara khusus di Pasal 44 UU KPK yang menegaskan bahwa Penyidikan dapat dilakukan jika ditemukan bukti permulaan yang cukup.
Menurut KPK, Jika dihubungkan dengan aturan di Pasal 1 angka 14 KUHAP tentang defenisi Tersangka sebagai “seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”, maka KPK memandang dilakukannya Penyidikan dengan langsung menetapkan tersangka adalah sesuatu yang sah menurut hukum.