Aksi Kedaulatan Rakyat Dimulai Besok, Politisi PKB: Kami Diam Saja di Depan Bawaslu
Aksi Kedaulatan Rakyat akan mulai dilakukan pada 20 Mei hingga 22 Mei 2019.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah tokoh pendukung capres-cawapres 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno akan melakukan pengerahan massa untuk berunjuk rasa menolak hasil Pemilu 2019 yang dianggap ada kecurangan.
Aksi tersebut dinamakan Kedaulatan Rakyat sebagai pengganti gerakan People Power.
Aksi Kedaulatan Rakyat akan mulai dilakukan pada 20 Mei hingga 22 Mei 2019 yang merupakan hari pengumuman hasil rekapitulasi suara nasional Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Salah satu tuntutan aksi tersebut adalah meminta KPU mendiskualifikasi capres petahana, Joko Widodo.
Sasaran aksi ini adalah kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI di Jalan MH Thamrin nomor 14, Jakarta Pusat, pada 20 dan 21 Mei 2019, dan gedung KPU RI di Jalan Imam Bonjol nomor 29, Menteng, Jakarta Pusat, pada 22 Mei 2019.
Politikus PBB, Ahmad Yani meyakinkan aksi yang dinamakan Keadulatan Rakyat itu akan berlangsung damai.
Nantinya, aksi tersebut hanya menggelar aksi diam.
"Kami itu aksi diam. Jadi, kami diam saja di depan Bawaslu," ujar Yani di Jakarta, Sabtu (18/5/2019).
Rangkaian aksi akan dimulai pada Senin, 20 Mei 2019, untuk sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Baca: Cerita Megan Lovelady yang Sempat Diusir Sang Ibu Ketika Tahu Berbeda Keyakinan (Bagian III)
Setelah dua hari aksi di depan kantor Bawaslu, massa akan bergerak melakukan long march ke kantor KPU pada Rabu (22/5/2019) pagi.
"Di KPU itu dari pagi sampai pengumuman. Jadi, kami akan jalan mulai 22 Mei pagi dari Bawaslu," jelasnya.
Yani juga menjelaskan, massa tidak akan 'menginap' di Bawaslu. Karena baginya, menginap artinya sengaja tidur di jalanan.
"Menginap itu kan berarti tidur. Kami banyak acara di depan Bawaslu, jadi tidak tidur. Tidak menginap," ujarya.
Sejumlah agenda kegiatan telah disiapkan untuk pelaksanaan aksi Kedaulatan Rakyat itu.
Yakni, Salat berjamaah, berdoa dan membentangkan spanduk berisi tuntutan diskualifikasi pasangan calon nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf Amin oleh KPU.
Persebaran massa akan berada di sepanjang Jalan Thamrin depan kantor Bawaslu RI dan Bundaran HI. Beberapa titik lainnya, akan diumumkan menjelang aksi.
Mengenai jumlah massa yang akan hadir di Jakarta, Yani mengatakan, tidak banyak berbeda dengan Aksi 212.
"Kalau yang 20 Mei itu paling hanya puluhan ribu saja. Nanti 21-22 Mei itu, kurang lebih sama seperti 212," ucap dia.
Hal senada juga dijelaskan oleh Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Siti Hediyati Hariyadi atau Titiek Soeharto yang menjelaskan rangkaian aksi itu tidak akan berjalan anarkis.
Pasalnya, mereka hanya akan duduk-duduk saja, mengingat selama ini mereka telah berteriak mengenai kecurangan, tetapi tidak pernah direspon.
"Kita tanpa kekerasan, paling hanya duduk-duduk saja. Kita sudah menyuarakan itu, tapi kok diam saja? Makanya, ini bentuk dari protes kami," jelas putri Presiden Soeharto itu.
Politikus Partai Berkarya tersebut juga meyakini, aksi akan tetap berjalan damai selama tiga hari. Dengan syarat, aparat keamanan tidak bertindak represif.
"Insya Allah damai. Kecuali, kalau disana kita ditimpuki gas, ditembaki gas air mata. Kita rakyat yang ingin memperjuangkan, tapi justru ditembak-tembaki, dizalimi, tentunya rakyat yang akan bicara sendiri," imbuh dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Abdul Kadir Karding mengatakan, apabila BPN menolak hasil Pilpres, maka mereka juga mengakui kerja dari saksi-saksinya di TPS.
Penolakan itu, dinilai akan menjadi preseden buruk bagi pendidikan politik dalam tradisi di Indonesia.
"Mereka menafikkan kerja profesional yang dilakukan oleh KPU, KPPS, bahkan saksi mereka sendiri," tegas Karding.
Menurutnya, jika BPN menolak hasil Pilpres 2019, maka para elit parpol pendukung Prabowo-Sandi juga harus menolak hasil Pemilu Legislatif 2019 mengingat kedua pemilihan dilakukan secara serentak dengan penyelenggara dan saksi yang sama.
Terlebih, pengawasan terhadap hasil pileg lebih rumit ketimbang hasil pilpres.
Ditambah lagi, waktu penyelenggaraan, perlakuan dan sistem yang dipakai masih dalam satu undang-undang yang sama.
"Artinya tidak etis kalau anggota DPR dari koalisi 02 yang menolak hasil KPU, di parlemen nanti ikut dilantik," ujarnya.
Tak Ada Pengamanan Khusus
Jelang pengumuman presiden dan wakil presiden terpilih, tidak ada pengamanan khusus yang dirasakan oleh komisioner KPU dan juga pimpinan Bawaslu.
Komisioner KPU, Ilham Saputra mengatakan, sejauh ini tidak ada pengetatan keamanan dari pihak kepolisian.
"Tidak ada seperti itu, sama saja semuanya. Biasa saja," katanya.
Hal yang sama dirasakan oleh Pimpinan Bawaslu, Mohammad Afifuddin. Ia melihat pengamanan hanya tampak di kantornya.
Dan pengamanan seperti itu telah dilakukan sejak hari pencoblosan, 17 April 2019 lalu.
"Kalau di kantor iya. Kalau untuk kami tidak ada. Biasa saja," jelas dia.
Pihaknya menyerahkan urusan pengamanan kepada pihak kepolisian. Begitu pula dengan aksi yang akan berlangsung di depan kantor mereka.
"Kami percayakan dengan pihak kepolisian," ungkapnya.
Mabes Polri mengimbau masyarakat untuk tidak melakukan aksi turun ke jalan pada tanggal 22 Mei 2019 atau saat KPU mengumumkan hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2019.
"Pada tanggal 22 Mei, masyarakat kami imbau tidak turun (ke jalan), ini akan membahayakan," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Pol Mohammad Iqbal.
Imbauan itu bukan tanpa sebab. Iqbal menilai tanggal tersebut rawan dari ancaman aksi terorisme.
Dari penangkapan sejumlah terduga teroris, diketahui aksi amaliyah akan dilaksanakan dengan memanfaatkan momentum tanggal 22 Mei 2019 tersebut.
"Karena mereka (para terduga teroris) akan menyerang semua massa, termasuk aparat," kata dia.
Mantan Wakapolda Jawa Timur itu juga menegaskan adanya ancaman itu melalui sebuah video yang diperlihatkan kepada awak media.
Video itu berisi pengakuan seorang terduga teroris berinisial DY alias Jundi, yang mengaku akan menyerang kerumunan massa saat 22 Mei. Bahkan, yang bersangkutan telah merangkai bom.
"Yang mana pada tanggal tersebut sudah kita ketahui bahwa di situ akan ada kerumunan massa yang merupakan event yang bagus untuk saya untuk melakukan amaliyah, karena di situ memang merupakan pesta demokrasi yang menurut keyakinan saya adalah sirik akbar yang membatalkan keislaman. Yang termasuk barokah melepas diri saya dari kesyirikan tesebut," kata DY seperti dikutip dari video tersebut.
Meski demikian, Iqbal meminta masyarakat untuk tetap tenang. Pasalnya Densus 88 sudah melakukan sejumlah antisipasi dengan penangkapan atau preventive strike. (tribun network/amriyono/coz)