Eksklusif Tribun: Caleg Belanja Suara di Kecamatan. Bayar Rp5-10 Juta Per Kepala
Praktik pengambilan suara memang terjadi pada pemilu 2019. Tribun Network mencari tahu adanya potensi kecurangan tersebut
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Deodatus Pradipto
Laporan Wartawan Tribun Network Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Edward Hutabarat, seorang calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan daerah pemilihan I Provinsi Sumatera Utara, mendatangi panitia pemilihan kecamatan (PPK) Kota Medan. Edward menyampaikan keberatannya karena suara miliknya hilang sebanyak 300 suara di Kecamatan Medan Helvetia.
Sebelum mendatangi PPK, Edward Hutabarat telah melapor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Medan. Pihak Komisi Pemilihan Umum kemudian bertanya kepada saksi dari PDI-P apakah perlu melakukan penghitungan ulang atau tidak.
Boydo Panjaitan, yang diutus PDI-P sebagai saksi, kemudian meminta C1 plano dibuka demi kejelasan. KPU memenuhi permintaan Boydo lalu terbukti ada penggelembungan suara. Akibat dari hal ini Boydo Panjaitan sempat diculik oleh saat menyaksikan rekapitulasi suara di Hotel Grand Inna, Medan, Jumat (10/5) lalu.
Praktik pengambilan suara memang terjadi pada pemilihan umum 2019. Bawaslu menemukan adanya jual-beli suara di tingkat pemilihan legislatif. Anggota Bawaslu Mochamad Afifudin mengatakan adanya praktik pengambilan sebagian jumlah suara dari calon legislatif satu ke calon legislatif lainnya dalam satu partai, serta pengambilan suara dari caleg untuk masuk ke partai.
"Persaingan antarcaleg dalam satu partai, kemudian mengambil suara yang bersangkutan suara partai dicocokkan. Yang seperti itu," kata dia di Kantor KPU, Jakarta, pekan lalu.
Berawal dari hal itu, Tribun Network mencari tahu adanya potensi kecurangan tersebut, serta mengonfirmasi kepada beberapa pihak terkait. Seorang calon legislatif yang bertarung di DPRD DKI Jakarta, Adi mengungkapkan adanya praktik pemindahan suara caleg ke partai dan satu caleg ke caleg lainnya, sudah menjadi rahasia umum di kalangan caleg.
Caleg menyebutnya dengan istilah 'Belanja Suara'. Hal ini hanya terjadi di pemilihan legislatif berbagai tingkatan, tidak ada pembelian suara di tingkat pemilihan presiden.
Kepada Tribun Network, Adi mengatakan partai sudah memiliki jagoan untuk masuk ke dewan. "Partai sudah menyiapkan orang-orang tertentu. Jadi, kalau suara kurang akan ditambah di situ. Bisa main di internal, bisa main di eksternal. Paling mudah, ya di internal," jelasnya di suatu kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Bagaimana caranya? Adi menjabarkan awalnya akan ada pertemuan di balik layar antara petugas penghitungan di kecamatan, saksi yang juga tim sukses, serta pengawas penghitungan.
"Biasanya ada operator komputer penghitungan suara juga main, tapi ini bisa dikondisikan karena dia tidak pegang form C1, hanya dengar suara petugas yang membaca," tambahnya.
Seluruhnya terjadi di penghitungan tingkat kecamatan. Kenapa kecamatan? Menurutnya tempat tersebut lebih mudah untuk 'dikuasai' ketimbang di tempat pemungutan suara yang dilihat banyak pasang mata. Di tingkat kecamatan hanya beberapa orang yang perlu dilibatkan. Penguasaan, akan disertai dengan bayaran antara Rp5-10 juta untuk setiap kepala petugas kecamatan.
"Itu harga paling kecil untuk tingkat DPRD. Kalau DPR RI, harga semakin mahal," ungkapnya.
Penambahan suara tidak terlihat signfikan. Paling banyak setiap TPS hanya akan berpindah sebanyak lima sampai 10 suara. Itupun tidak di semua TPS dalam satu daerah pemilihan (Dapil). Ini hanya terjadi di beberapa TPS, asal suara memenuhi ambang batas untuk masuk menjadi anggota dewan.
"Tidak langsung masuk 50 satu TPS, tidak. Paling hanya lima suara, maksimal 10 suara. Itu juga sudah terlalu banyak," katanya.
Selain itu, dirinya juga menjelaskan cara permainan di dalam penghitungan kecamatan. Menurut dia ada pemanfaatan kelelahan dari saksi yang ikut menghitung. Prosesnya, apabila ada tanda 'merah' dalam penghitungan suara di dalam sistem yang sudah diterapkan KPU, maka petugas akan melompati hal tersebut. Hal itu diterapkan untuk menghindari perdebatan yang dapat memakan waktu 45 menit sampai 1,5 jam lamanya.
"Kalau di sistem Excel yang dibuat KPU itu ada tanda merah, artinya ada yang tidak sama. Ada perbedaan antara jumlah pemilih dengan hasil hitung. Nah, ini dilewatkan dulu. Bisa dihitung besok lagi atau buka kotak C1 plano, tapi ini makan waktu. Akhirnya diloloskan karena sudah lelah berdebat," urainya.
Caleg dari Partai Berkarya, Vasco Ruseimy, yang bertarung di DPR RI dari Dapil Jakarta II, mengaku pernah mendapat tawaran untuk memindahkan suara. Dia menjelaskan ada beberapa orang yang dia sebut sebagai operator datang kepada dirinya dan tim sukses. Mereka menjanjikan penambahan suara agar dia lolos menjadi anggota dewan.
"Iya, ada orang yang saya duga sebagai operator, datang ke saya. Mereka menawarkan perpindahan suara," tuturnya.
Kepada Vasco pemindahan suara terjadi lewat berbagai macam. Ada yang dipindahkan dari suara partai sendiri, ada juga yang dipindah dari partai lain. Begitu juga dengan suara dari caleg lain yang secara mudah dijanjikan untuk pindah. Dia menolak semua tawaran itu.
"Banyak yang seperti itu. Saya tidak mau. Saya tolak. Bukan itu tujuan saya. Saya mau masuk asal tidak curang. Ini sudah curang namanya," tegas dia.
Tribun Network kemudian mengonfirmasi hal ini kepada seorang saksi partai politik di kecamatan bernama Levi. Dirinya tidak paham betul apakah itu mengartikan adanya pemindahan suara atau tidak. Namun demikian, dia mempermasalahkan ketergesaan petugas di kecamatan saat menghitung suara.
"Bagi saya, masalahnya ada di terburu-buru ini. Apakah itu kecurangan atau tidak, saya tidak tahu, tapi bisa saja jadi potensi," jelasnya.
Hal yang dia soroti lainnya adalah banyaknya saksi partai yang tidak memegang form C1. Kebanyakan dari mereka adalah saksi partai yang baru ikut di kecamatan sehingga tidak mendapatkan C1 dari tingkat TPS. Selain itu mereka hanya membawa selembar kertas dan tidak ada memiliki dasar untuk berdebat di tingkat kecamatan.
"Mereka tidak tahu itu kalau suaranya hilang-hilangan. Cuma kami yang punya C1 ini dari semua TPS. Mereka cuma iya-iya saja. Jadi, yang berdebat ya kami saja. Kalau tidak ada ini, selesai juga kita," katanya sambil mengeluarkan beberapa form C1 dari tas yang dia bawa.
Dia mengaku beberapa suara partai politik telah diselamatkan dan beberapa kali meminta agar kotak suara dibuka, sehingga jelas angka yang harus dicatat. Baginya, pemilu yang jujur sangat penting.
"Tidak masalah lama sedikit asalkan bisa jujur. Jangan terburu-buru begini," ucap dia.