Kemkominfo Telah Cabut Pembatasan Akses Media Sosial Siang Ini
"Selamat menggunakan internet dengan lancar tanpa hambatan kembali ya," demikian cuitan akun twitter @kemkominfo
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Mengakses internet menggunakan VPN gratisan kadang kala juga membuat koneksi menjadi lebih lambat.
Yang namanya terowongan, maka bukan tidak mungkin juga jika jalur tersebut memiliki banyak kebocoran.
Apabila alamat IP bocor ke publik, maka pengguna internet bersangkutan akan menghadapi ancaman serius yaitu malware dan hacker.
Selama ini, banyak penyedia layanan VPN gratis yang mengandalkan pendapatan dari iklan-iklan yang dipasang di website mereka, sehingga bahaya Adware bisa saja mengancam.
Hambat Penyebaran Hoaks
Sementara, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI melakukan pembatasan sementara terhadap fitur media sosial dan pesan instan demi menghambat penyebaran hoaks seputar aksi demo dan kerusuhan 22 Mei 2019.
Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Rudiantara mengatakan pengguna sejumlah media sosial tidak bisa mengirim dan menerima video dan foto untuk sementara waktu.
"Pembatasan dilakukan terhadap platform media sosial, fitur-fitur media sosial, tidak semuanya, dan messaging system, " ujar Rudiantara, Rabu (22/5/2019).
Berdasar pengamatan BBC News Indonesia, platform media sosial populer di Indonesia seperti Instagram, WhatsApp, dan Facebook sulit diakses menggunakan seluler sejak Rabu (22/5/2019) siang.
Akses video dan foto hanya bisa dilakukan via jaringan nirkabel atau WiFi. Layanan teks dan berbagi lokasi tampaknya masih tersedia.
Telegram dan VPN
Saat WhatApp down dan error karena penggunaannya sedang dibatasi, warganet di Tanah Air menyiasatinya agar tetap lancar berkomunikasi melalui aplikasi pesan instan.
Pantauan Tribun-Timur.com, ada 2 cara alternatif dipakai.
Pertama, dengan menggunakan VPN. Ada sejumlah aplikasi VPN untuk menembus blokiran WhatsApp.
Cara ini ramai disebar melalui WhatsApp oleh netizen.
Kedua, menggunakan Telegram. Telegram memiliki fitur yang sama dengan WhatsApp dan bukan jadi sasaran pemblokiran oleh pemerintah, saat ini.
Melalui Telegram, pengguna dapat mengirim pesan dan bertukar foto, video, stiker, audio, dan tipe file lainnya.
Telegram juga menyediakan pengiriman pesan ujung ke ujung terenkripsi opsional.
Media Mainstream
Pengamat kebebasan berinternet memperingatkan bahwa pembatasan terhadap media sosial dan layanan perpesanan oleh pemerintah jangan sampai menjadi preseden.
Menteri Rudiantara mengatakan, akses ke sejumlah media sosial tersebut dibatasi karena perannya dalam penyebaran konten hoaks.
"Kita tahu modusnya adalah posting di media sosial, Facebook, Instagram, dalam bentuk video, meme, dan foto. Kemudian screen capture (tangkap-layar), viralnya bukan di media sosial, tapi di messaging system WhatsApp," jelas Rudiantara.
"Jadi kita semua akan mengalami pelambatan kalau kita download (mengunduh) atau upload (mengunggah) video dan foto. Karena viralnya yang negatif besarnya mudaratnya ada di sana," imbuhnya.
Kini, kata Rudiantara, berita terkini terkait dengan aksi 22 Mei 2019 pun hanya bisa diakses melalui media arus utama.
"Yang biasanya main di media online, media sosial, sekarang kita kembali sementara ke media mainstream," cetusnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Wiranto mengatakan pemerintah belum dalam memastikan sampai kapan pembatasan itu akan berlangsung.
Namun, dia memastikan langkah ini dilakukan bukan untuk bertindak "sewenang-wenang", melainkan "suatu upaya untuk mengamankan negeri ini."
"Kita bersama-sama memiliki negeri ini, jadi berkorban dua-tiga hari untuk enggaklihat gambar kan tak apa-apa," ujar Wiranto.
Peneliti dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara atau SAFEnet, Matahari Timoer, menilai langkah pemerintah bisa diterima sebagai langkah darurat.
Pasalnya, menurut Matahari, hoaks tidak bisa dilawan hanya dengan informasi yang benar.
"Orang yang menyebarkan hoaks itu tidak bisa disadarkan hanya dengan 'eh ini hoaks'. Itu saya ngalamin banget, saya mendapatkan informasi di grup, saya katakan itu hoaks, saya sebarkan tautan dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), mereka enggak percaya. Mereka lebih percaya dengan informasi yang mereka dapatkan dari pimpinannya, dari lingkungannya, dari orang-orang yang memang satu perjuangan dengan mereka, satu aliran politik, satu identitas politik."
"Nah, dalam situasi yang semakin rumit per 21 Mei tadi pagi, dan antisipasi 22 Mei ini saya pikir membatasi akses untuk menyebarkan image dan video itu perlu dilakukan oleh pemerintah," kata Matahari menjelaskan.
Namun, ia mewanti-wanti bahwa pemerintah juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat dengan melaporkan secara transparan mengenai efektivitas pembatasan akses ini.
"Pemerintah juga harus memberikan laporan kepada publik apakah efektif apa yang sudah dilakukan, informasi-informasi seperti apa yang dengan pembatasan seperti itu akhirnya tidak sampai, tidak menyebar," kata Matahari.
Ia juga memperingatkan, jangan sampai pembatasan akses ini menjadi preseden — bahwa setiap ada masalah, pemerintah lantas menutup akses media sosial untuk masyarakat.
Kerusuhan yang terjadi di sejumlah tempat setelah pengumuman hasil rekapitulasi suara pemilu 2019 telah mengakibatkan enam orang meninggal dunia. Polisi mengatakan kerusuhan tersebut sudah diatur dan disebabkan oleh provokator. (BBC News Indonesia/TribunSolo/Tribun Jateng/Tribun Timur/Kompas.com)